Penulis : Sudarmawan juwono
Intensitas pembangunan masjid di Indonesia nampak sangat marak seiring dengan peningkatan kebutuhan warga yang beragama Islam untuk beribadah.
Kebutuhan yang didorong menunjukkan eksistensi
umat baik dalam aktivitas ritual maupun penampilan budaya. Faktor peningkatan
pengetahuan umat Islam juga memiliki pengaruh yang tidak sedikit yang
menimbulkan keinginan untuk mencari budaya yang dianggap islami sehingga
meningkatkan ketaaatan hingga rasa kebanggaan.
Kondisi ini tidak terlepas dari kegairahan serta interaksi dakwah Islam
dunia internasional maupun domestik yang berkembang. Berbagai gerakan dakwah
internasional modern yang ada di Indonesia memiliki peran serta memberikan
pengaruh dalam pembentukan budaya dan pola pikir umat Islam tanah air. Salah
satu pengaruh budaya, antara lain adanya kecenderungan memperkuat pandangan
bahwa Timur Tengah sebagai kiblat agama dan budaya Islam yang “ autentik “ dan
mencerminkan kemajuan. Oleh sebab itu kebanyakan arsitektur masjid ini
mencontoh berbagai pola mengadopsi gaya Arab-Spanyol maupun gaya Timur Tengah
dengan dominasi kubah, lengkung serta bentuk geometri serta metafora lainnya.
Tidak terkecuali masjid masjid yang berstatus sebagai masjid jami’. Gaya
arsitektur masjid jami’ yang sebelumnya menggunakan “ atap tumpang “ khas
Nusantara kemudian dalam renovasi atau pengembangan kemudian dirubah menjadi
gaya kosmopolit tersebut.
Terlepas
dari adanya kekuatan kapital yang mendorong fenomena tersebut, tidak dapat
diingkari adanya keinginan budaya menunjukkan
keislaman secara fisik. Adapun ruang ekspresi tersebut salah satu di antaranya
adalah arsitektur masjid. Semua itu tidak terlepas dari pengaruh globalisasi yang
Kemudahan tukar informasi, berkomunikasi dan kemajuan transportasi membuat leburnya sekat-sekat geografis yang selama ini membatasi ruang
gerak warga dunia.
Seberapa penting masalah ini didiskusikan adalah ketikan budaya yang
wujud ini lebih menonjolkan sesuatu yang tampak dan
tercerabut dari konteksnya. Salad (2000) menuliskan bahwa praktek-praktek seni
sebagai media dakwah dan sosialisasinya di ruang publik, telah memperlihatkan
kecenderungannya yang bersifat praksis, rekreatif da lebihy menonjolkan bentuk
keindahan luar, kebenaran logis dan empiris. Padahal karya arsitektur sebagai
praktek seni sangat berpotensi menjadi refleksi ajaran agama. Pada sisi lain
menunjukkan keburaman perilaku umat yang ditandai dari sikap intoleransi,
radikalisme pemahaman agama hingga ekstrisme. Ada proses homogenisasi pemahaman
yang sempit dan literal sehingga fenomena perilaku beragama dipandang bersifat
tunggal. Pemahaman yang mengangkat “ supremasi Timur Tengah “ sebagai kiblat
budaya sehingga apa yang berasal dari wilayah tersebut menjadi sakral. Implementasi pandangan tersebut yang
menafikan budaya lokal disadari atau tidak menimbulkan pandangan yang tidak
sehat terhadap budaya Islam. Akhirnya apa yang disebut arsitektur Islam adalah
yang mengadopsi bentuk Timur Tengah. Persoalannya, umat Islam perlu membangun
budayanya sendiri tidak terlepas dari lingkungan. Dari persoalan arsitektur,
hal ini menimbulkan pertanyaan tidakkah kita memberikan sumbangan terhadap
kekayaan arsitektur Islam melalui alkulturasi budaya ?
Acuan Pandangan Arsitektur Islam
Ajaran
kebudayaan Islam adalah mengacu pada nilai-nilai tauhid dan semangat
kemanusiaan serta menghargai kearifan lokal
lingkungan. Hampir setiap bentuk budaya Islam mempunyai akar pada nilai
nilai lokal. Hal ini dapat ditemukan pada karya Taman Sunyaragi. Arsitektur
Taman Sunyaragi adalah suatu tafsir mengenai lanskap atau tata ruang yang
berakar pada tujuan spiritual. Keindahan dalam Taman Sunyaragi ini bukan karena
tatanannya namun karena ide yang dibangun di dalamnya yaitu sebagai “ ruang
kontemplasi”. Ide taman sebagai ruang kontemplasi kemungkinan tidak dapat
ditemukan pada Taman taman Islam di Spanyol atau India yang lebih banyak dibangun pada konsep keindahan.
Nasr (1987) menjelaskan budaya ini menunjukkan keluwesan budaya Islam yang
berkembang dalam keragaman namun tetap berakar pada kesatuan tauhid.
Islam
memandang arsitektur sebagai suatu karya dalam
beberapa dimensi antara lain yaitu : (1) Sarana mendekatkan diri kepada Allah
SWT, (2) Sebagai ekspresi kreatif manusia berinteraksi dengan lingkungan
sebagai “ sebagai lingkungan binaan” dapat menjadi ruang yang adaptif, (3)
Sebagai ruang edukasi bagi manusia dalam berhubungan dengan sesama, Tuhan
maupun lingkungan, (4) Ruang sebagai tempat untuk berkomtemplasi baik berpikir
maupun olah hati. Pernyataan Leaman maupun Nasr bahkan Faruqi sama dalam hal
ini bahwa “ seni Islam “ pada dasarnya relijius. Namun dari analisis Leaman
sebenarnya terpenting adalah “ apresiasi “, suatu karya seni akan tergantung
pada penilainya. Katakanlah ketika Aga Sophia masih menjadi gereja kemudian
menjadi masjid masihkah memiliki nilai yang sama ? Pada seni kria yang
menghiasi bangunan dan kubur Islam di pulau Jawa misalnya semangat Islam untuk
membatasi tidak menggunakan gambar binatang dan konsentrasi pada
tumbuh-tumbuhan kemudian menjadi ciri khas seni ukir setempat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan umat
Islam dunia sangat dipengaruhi kebudayaan Arab-Eropa yang menjadi pembawa
ajaran Islam. Pengaruh ini sangat kuat
bahkan terkadang mengabaikan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam sendiri terkait
dengan pandangan terhadap relativisme budaya. Pemikir sekelas Ismail Faruqi
juga menunjukan dukungan kuat terhadap pola geometri yang dianggap
merepresentasikan seni Tauhid. Kefasihannya menjelaskan hubungan geometri
berasal dari tradisi pemikiran eksak matematis yang diwarisi dari generasi
sebelumnya. Bentuk bentuk geometri ini bukan semacam bentuk yang tercipta
begitu saja melainkan rangkaian simbol dari formula matematika. Al Qur’an yang menjadi dasar acuan pengembangan arsitektur Islam sendiri
menjelaskan hal tersebut sebagai penghargaan atas simbol matematika melalui
mukjizat angka-angkanya. Pemikiran Faruqi mengenai seni Tauhid dapat diterima
dengan baik sebagai suatu kasus dalam suatu fragmen lanskap dan lingkungan
budaya Arab-Eropa.
Regionalisme arsitektur adalah suatu gaya yang
mengacu pada upaya mencapai keselarasan pada nilai-nilai lokal dengan tetap
mempertimbangkan kebutuhan fungsi serta modernitas.
Metode
Paper ini merupakan rangkaian dari proses
penelitian awal untuk mengkaji pengaruh tema budaya asing terhadap gaya
arsitektur Islam di Indonesia. Langkah pertama adalah mengungkap berbagai
fenomena perkembangan bentuk arsitektur masjid sehingga dapat dikatakan
bersifat eksploratif untuk menangkap potensi penelitian lanjutan. Adapun topik
ini adalah menyangkut tema pengaruh budaya dalam perancangan arsitektur
sehingga dalam melakukan penelitian harus menggunakan metode penelitian budaya.
Penelitian ini masih dibatasi pada aspek fisik yang banyak muncul
direpresentasikan dari berbagai amatan. Dengan mengacu metode penelitian
arsitektur (Groat, L. & Wang, D, 2002) maka proses
ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat eksploratif dan dikemukakan
secara deskriptif.
Metode
Pengumpulan dan Olah Data
Data yang diajukan dipilih
secara purposif sesuai kebutuhan antara lain adalah beberapa masjid yang
menjadi representasi arsitektur Islam kontemporer. Ukuran kontemporer berasal dari
penggunaan/adopsi atas elemen-elemen arsitektur asing dan modern. Adapun
regionalisme.
Analisis
dan Interpretasi
Ada beberapa tampilan bentuk arsitektur masjid yang
merepresentasikan gaya kontemporer.
Gambar 1. Masjid
Al Irsyad
Masjid
Kota Baru Parahyangan Bandung karya Ridwan Kamil ini tampilan fasad didominasi
pola geometris.
Sumber
: http://sebandung.com/wp /2015
Gambar 2. Interior
Masjid Al- Irsyad
Interior
yang didominasi pola geometri.
Sumber
: http://sebandung.com/wp /2015
Gambar 3. Masjid
Dian Al-Mashry Depok
Perhatikan
kubah dan bentuk lengkung
Sumber
: http://sebandung.com/wp /2015
Gambar 4. Masjid
Jamik Di Kota Indonesia
a.Masjid Islamic Center Jakarta Utara,
b.Masjid Al Barkah Bekasi,
c. Masjid Raya Tangerang,
d.Masjid Raya Makassar
Perhatikan
kubah dan bentuk lengkung
Sumber
: http://sebandung.com/wp /2015
Dari beberapa tampilan bentuk arsitektur
masjid di atas dapat disimpulkan adanya keinginan menampilkan unsur kubah
sangat kuat disamping lengkung yang menjadi ciri gaya kontemporer Timur Tengah.
Khusus penampilan Masjid
Al Irsyad Kota Baru Parahyangan yang
mendapat penghargaan The Best 5 World Building of The Year 2011 untuk
kategori Bangunan Religi, versi Archdaily & Green Leadership Award tahun
2011 dari BCI Asia ini
menunjukkan bahwa karya yang dirancang oleh arsitek kaliber internasional
sekalipun masih didominasi pola geometri. Apakah artinya pola geometri ini
telah diterima sebagai suatu gaya yang merepresentasikan bentuk arsitektur
Islam tentu masih perlu diperdebatkan ? Namun fenomena tersebut tidak dapat
disangkal merupakan suatu arus utama dalam perancangan bentuk masjid di
Indonesia.
Pada masa
lalu arsitektur Islam berkembang memanfaatkan pola simbolisme dan material
lokal namun memiliki spirit yang sama. Cara ini jelas bukan sekedar sinkretisme
(bandingkan dengan Ashadi, 2013) melainkan suatu strategi budaya yang sangat
jitu.
Misal fenomena mushala yang berada di Taman Sari bangunan
istana Kasultanan Yogyakarta yang dibangun pada abad 18 sebagai contoh
simbolisme yang baik. Keberadaan mushala yang disebut Sumur
Gumuling ini sebagai ruang bawah permukaan air menjadi saksi
bagaimana seorang arsitek yang dijiwai semangat tauhid mencoba berkreatifitas
untuk mengekpresikan dalam bentuk. Olah pikir tersebut membentuk konsep ruang
shalat dan kontemplasi yang sederhana namun sangat khusyu. Sultan sebagai
penghuni Taman dapat menikmati kekhusyuan saat shalat di bawah permukaan air
yang tenang. Ini mengekspresikan bagaimana manusia mampu hidup di bawah air
(bukan hanya Ratu Kidul sebagai penguasa Samudera Selatan yang mampu hidup di
bawah air).
Lain halnya dengan fenomena Taman
Sunyaragi yang menunjukkan bahwa dalam
konsep arsitektur Islam Cirebon bagaimana Taman sebagai ruang kontemplasi
bukan sekedar ruang visual untuk
menikmati pemandangan. Konsep Sunyaragi sendiri berasal dari kata “ Sunya “ dan “ Ragi “ yang berarti pelepasan diri
suatu konsep mengenai dzikir dan tafakkur dalam tasawuf Islam (Juwono. Dkk,
2013). Sepintas ada suatu yang berlawanan antara keindahan dengan semangat
untuk mempertahankan kesederhanaan atau kesahajaan.
Gambar 5. Taman
Sari dan Taman Sunyaragi
a. Taman Sari bagian depan utama
b. Tangga menuju ruang shalat (Sumur Gumuling)
c. Taman Sunyaragi
d. Gerbang dengan Candi Bentar
e. Masjid Islamic Center Jakarta Utara,
Inilah
yang membedakan antara gemerlap karya arsitektur Arab-Eropa-India dengan karya
arsitektur Nusantara yang cenderung bersahaja. Dalam hal ini semangat zuhud
(kesederhanaan) nampak dan sebaliknya kaya dengan simbol yang bilamana
diapreasiasi akan menimbulkan tafsir yang tidak pernah habis-habisnya.
Bagaimana fakta ini dipandang dari suatu proses
perkembangan budaya ? Menggunakan analisis Gramsci mengenai konsep
hegemoni (Pramono, dalam Santoso,
2012) bahwa gejala ini dapat dijelaskan adanya situasi bahwa budaya yang
dominan menjadi berkuasa (mendominasi) sehingga budaya yang dikuasai merasa
inferior. Perasaan inferior ini direspon dengan melakukan peniruan atau adopsi
secara tidak kritis atau taklid untuk
mengambil bentuk bentuk yang ada tanpa memikirkan latar belakang kebudayaan
pembentuknya. Maka bisa dimengerti bilamana, budaya dominan budaya Islam yang dianggap unggul seperti Timur
Tengah atau Spanyol menjadi budaya yang diterapkan begitu saja. Proses
alkulturasi yang mempertimbangkan
dialektika dengan nilai nilai lokal diabaikan begitu saja. Minimal ada dampak budaya sebagai berikut : (1)
Eliminasi budaya lokal, (2) Bentuk tidak memiliki nilai adaptif
terhadap lingkungan, (3) Pembentukan
pemahaman mengenai budaya yang dianggap unggul atau dianggap benar.
Padahal idiom arsitektur seperti kubah dan lengkung sudah
banyak diyakini sebenarnya hanya merupakan suatu produk budaya yang sama sekali
tidak merepresentasikan nilai ajaran Islam itu sendiri (lihat Utaberta, 2008
dan Rochim, 1983). Idiom tersebut dibawa sebagai bagian proses penyebaran
budaya. Oleh sebab itu harus dipandang sebagai obyek yang perlu diolah secara
kritis.
Mempertimbangkan Prinsip Perancangan
Mumtaz dalam Utaberta (2008) menjelaskan bahwa produk
budaya masyarakat Islam berbeda dengan apa yang disebut produk nilai
dan prinsip Islam. Sejalan dengan pemikiran Nasr (1993) yaitu keragaman budaya
dengan kesatuan tauhid yang berarti bahwa budaya bisa menjadi relatif serta
memiliki keharusan untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan lingkungan.
1. Seni Geometrik
Perkembangan arsitektur Islam modern lebih banyak
mengembangkan seni plastis dan geometris. Beberapa karya arsitektur bercorak
geometris seperti Masjid Kota Baru Parahyangan karya Ridwan Kamil misalnya
memiliki kecenderungan gaya Internasional. Karya ini sepintas tidak memiliki
dengan akar budaya setempat. Berbeda dengan masjid Salman ITB yang mengangkat
regionalisme kesahajaan bentuk dan konsep tropis panggung sebagai pola dominan.
Dari hasil pengkajian atas konsep seni tauhid,
Juwono (2013)
mengetengahkan sebagai berikut : Pandangan Faruqi tentang model seni arsitektur
geometris memberikan banyak inspirasi untuk pengkayaan kebudayaan Islam yang
secara umum dapat diterima. Pola geometris menjadi sangat mudah untuk diolah
dan secara teknis bersifat sederhana dan mampu menanamkan pemikiran matematis
logis pada umat Islam. Pemahaman ini dalam tataran konsep budaya dapat
dikatakan sebagai pemikiran semiotik namun juga bersifat logik. Namun demikian
bukan berarti hanya pola geometris belaka yang memperkaya arsitektur Islam
melainkan ada berbagai pola tradisi yang diadopsi dari lingkungan setempat yang
dapat menjadi penanda mengenai budaya Islam yang bersifat toleran dan menerima
kebaikan sebagai bagian dari hikmah lingkungan.
Namun pemikiran Leaman mengenai tidak
diperlukannya kesadaran dalam mengapresiasi karya seni arsitektur Islam juga
tidak dapat diterima. Penolakan ini karena pandangan Leaman tersebut
mengabaikan faktor subyektifitas karya sebagai faktor utama dalam mengapresiasi.
Alasan Leaman bahwa apresiasi yang diletakkan pada kesadaran sebagai bentuk
praktik orientalisme sama sekali tidak bisa diterima. Orientalisme berdiri di
atas “ kritik Barat yang merasa superior “ terhadap inferioritas Timur. Alhasil
orientalisme selalu menganggap suatu karya hanya diletakkan pada suatu
apreasiasi standar yang dapat diberlakukan secara general. Pandangan ini jelas
sangat stereotipe karena setiap budaya memiliki kebenarannya sendiri secara
subyektif pada ruang dan waktu tertentu.
2. Simbolisme Arsitektur Islam Nusantara
Bagaimana masa depan
arsitektur Islam Nusantara, selalu berpijak pada tataran normatif dan
kontekstual ? Pertama, bahwa suatu karya
akan selalu terikat dengan konteks-nya. Kedua, suatu karya akan menunjukkan
dinamika dan kemajuan. Ketiga, ada prinsip logis, empiris dan sekaligus
fenomenologis.
3. Kesahajaan Sebagai Konsep
Bagaimana
konsep kesahajaan tersebut lahir, sementara bumi Nusantara sendiri sebelumnya
telah melahirkan karya karya besar seperti candi Borobudur, Prambanan dan candi
candi lain yang dapat dikategorikan sebagai monumen peradaban dunia. Ajaran
Islam yang masuk dan berkembang di Nusantara melalui jalur tasauf melahirkan
pemikiran yang lebih banyak pada pemikiran teologis. Di tengah tengah kekuatan
besar peradaban Hindu dan Budha, perkembangan ajaran Islam yang menawarkan
kesederhanaan dan pengkayaan spiritual menjadi mudah diterima dengan baik.
Melalui
masjid maka dapat dikatakan “ ayat “ ditampilkan dalam bentuk simbol yang
sederhana (bersahaja). Dari ajaran Islam ini mengacu pada “ konsep ajaran Islam
yang menyebutkan keutamaan “ umathan wasathan. Mesjid ditampilkan dalam wujud
yang sangat sederhana melambangkan “ hati yang rendah “ yang menunjukkan
kehadirannya sebagai ruang yang hening.
Hasil Pengkajian
Dari hasil
pengkajian dapat dikemukakan sebagai berikut :
- Pola Geometri tidak sepenuhnya merupakan warisan tunggal karya seni arsitektur Islam karena pola tersebut berasal dari oleh bentuk peradaban manusia dalam budaya tertentu.
- Berbagai ekspresi lokal menunjukkan adanya keragaman karya yang mengekspresikan semangat budaya Islam. Kemampuan budaya yang terpenting adalah kemampuan untuk melakukan seleksi serta melestarikan nilai-nilai yang positif.
- Dalam konteks regionalisme, karya arsitektur dapat dikembangkan dengan mempertimbangkan spirit ajaran Islam pada nilai tauhid dan fungsi yang hendak diwadahi.
Berbagai
ekspresi lokal menunjukkan adanya keragaman karya yang mengekspresikan semangat
budaya Islam. Kemampuan budaya yang terpenting adalah kemampuan untuk melakukan
seleksi serta melestarikan nilai-nilai yang positif. Simbolisme bentuk
merupakan suatu kekayaan yang luar biasa dalam arsitektur yang sebenarnya
berkembang dari nilai-nilai ajaran Islam sendiri.
Bagaimana
dalam pemikiran perancangan arsitektur Islam dapat diletakkan sebagai proses
kreatif yang memiliki dasar keilmuan ?
Dalam konteks regionalisme, karya arsitektur dapat dikembangkan dengan
mempertimbangkan spirit ajaran Islam pada nilai tauhid dan fungsi yang hendak
diwadahi. Pola regionalisme abstrak dapat mengakomodasi nilai simbolik
tersebut. Upaya mengembangkan karya arsitektur Islam Nusantara sudah sewajarnya
untuk mendudukkan tradisi yang telah ada sebagai kekayaan intelektual dan cara
pandang kearifan lokal yang telah teruji. Adapun konsep yang baru bisa diterima
secara selektif dan mengacu pada pemahaman yang bersifat kritis.
Kesimpulan
Pemikiran yang selama ini
berkembang untuk mengadopsi pola geometri
sebagai bentuk arsitektur Islam adalah gejala hegemoni yang tidak memenuhi azas
kreatifitas kebudayaan. Pola geometri tidak sepenuhnya merupakan warisan
tunggal karya seni arsitektur Islam karena pola tersebut berasal dari oleh
bentuk peradaban manusia dalam budaya tertentu. Pengambilan idiom arsitektur sebagai produk budaya dari perspektif
kebudayaan menunjukkan bahwa ada inferioritas dan sikap kurang kritis dengan
menganggap bahwa budaya setempat “ bersifat inferior “ dibandingkan
dengan budaya internasional yang dianggap lebih superior. Selanjutnya ketidakmampuan menangkap esensi dari nilai dan prinsip yang
mendasari pembentukan karya budaya. Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan
dari suatu proses alkulturasi budaya.
Selanjutnya perlu disampaikan bahwa penelitian ini masih sebatas pada
pengungkapan pada hal yang terlihat indera kemudian diberi makna berdasar
asumsi yang ada. Penelitian lanjutan untuk suatu pengkajian yang lebih mendalam
mengenai pemahaman mengenai konsep arsitektur dari para perancang tentu sangat
perlu dilakukan.