sumber gambar wikipedia.
Prabu Kresna raja Dwarawati adalah penasehat Pandawa pada masa sebelum maupun saat peperangan Bharatayudha Jayabinangun. Kehadiran Kresna sangat menentukan karena menjadi pengimbang siasat peperangan yang digunakan oleh pihak Kurawa. Kelihaian serta kecerdikan beliau dalam mengatur jalannya peperangan membuatnya menjadi tokoh yang dianggap licin bahkan tanpa Kresna bisa jadi kemenangan berada pada Kurawa. Kisah Karna gugur, Bhisma, Pandita Durna atau sebelum perang saat beliau menjadi Duta Amarta menegaskan peran pentingnya. Bahkan adapula yang memperbandingkan Sri Kresna secara ekstrim dengan tokoh Mahapatih Sangkuni. Dengan demikian Kresna pada satu sisi dari pihak yang menghendaki perdamaian dapat dianggap merupakan tokoh kontroversial dalam pewayangan karena menghasut supaya peperangan terjadi. Benarkah demikian? Pantaskah Kresna jadi panutan? Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa tulisan ini didasarkan sumber cerita pewayangan Purwa Jawa.
Asal Muasal Kresna Menjadi Penasehat Pandawa
Saat peperangan akan dimulai, masing-masing pihak mencari dukungan dari negara-negara sekutu masing-masing. Baik Amarta maupun Astina melakukan konsolidasi kekuatan masing-masing meneguhkan barisan memperkuat posisi untuk tujuan satu yaitu kemenangan. Para duta atau utusan pergi ke penjuru Nusantara ke negeri-negeri sahabat yang memungkinkan diajak menjadi sekutu. Banyak negara yang masih terhitung kerabat dekat segera menjadi lawan peperangan seperti negeri Mandaraka, yang diperintah Prabu Salya memihak Astina. Prabu Basukarna atau sebelumnya Adipati Awangga, Negeri Awangga lebih dahulu menyatakan kesetiaan tanpa batas pada Astina yang memberikan kemuliaan dan kehormatan.
Bagaimana dengan negara Dwarawati yang disegani karena memiliki kekuatan pasukan luar biasa dengan raja sakti mandraguna kekasih para dewata. Tentara Dwarawati sebagian adalah raksasa yang dulu mengabdi pada Prabu Kresna raja raksasa yang hendak menyerang negara Mandura berhasil ditaklukkan Narayana. Setelah ditaklukkan maka kekuatan raja raksasa lebur dalam diri Narayana yang kemudian bergelar Sri Kresna. Kekuatan raksasa yang tunduk dalam pasukan Dwarawati sangat menentukan karena mereka ini terlatih dalam berbagai pertempuran menggunakan berbagai macam senjata dan alat alamiah lain seperti batu, pohon maupun binatang bisa menjadi senjata berbahaya. Sedangkan tentara manusia tidak kalah terlatih, dalam asuhan putra-putra Dwarawati seperti Samba dan Setyaki mereka mampu menunjukkan keunggulan melawan para raksasa yang kemudian menjadi kawannya. Sedangkan Prabu Kresna sendiri merupakan sosok satria yang dapat dianggap sebagai pusaka peperangan, kehadiran beliau dapat menentukan jalannya peperangan.
Kedua pihak berlomba mendapatkan dukungan dari Prabu Kresna maupun Dwarawati. Siapa cepat dan mampu menyakinkan beliau akan menjadi sekutu tentu akan beruntung. Tidak cukup mengirimkan duta, sang raja baik Prabu Puntadewa atau Prabu Duryudana sendiri berangkat ke negeri Dwarawati.
Kehadiran dua raja negara besar ini menimbulkan hiruk pikuk negeri Dwarawati. Serentak rakyat negeri menghentikan aktivitas berbelanja maupun aktivitas lainnya pergi berbondong-bondong ke alun-alun menyaksikan kedatangan Prabu Puntadewa dan Prabu Duryudana. Kedua raja membawa pasukan segelar sepapan namun tak bersenjata. Semua senjata diletakkan pada perbatasan karena keduanya datang dengan maksud damai mengunjungi Prabu Kresna.
Sang Duryudana menggunakan kereta perang yang dikendarainya sendiri ditarik dua kuda pilihan dipayungi senapati. Para penggiring menggunakan kuda seperti Dursasana dan adik-adiknya. Dursasana tidak henti hentinya tertawa terbahak-bahak dan mendongakkan kepalanya membanggakan keperkasaan serta kedisiplinan para Kurawa. Mereka mendampingi sang Paman Mahapatih Haryo Sangkuni yang tidak kalah dengan para keponakan menunjukkan kegagahannya namun tak urung tidak serasi dengan pakaian serta kuda tunggangannya yang kecil. Sepintas Mahapatih kelihatan tidak berwibawa bahkan ditertawakan para Kurawa.
Sementara dari Pandawa, Prabu Puntadewa menggunakan kereta dikendalikan sang adinda Arjuna. Mereka diiringi Bratasena, Nakula dan Sadewa. Bratasena tidak menggunakan kuda melainkan gajah sehingga tampak berwibawa. Di kanan kiri diapit kedua adik yang berkuda sekilas tidak dapat dibedakan. Pasukan penggiring menggunakan pakaian keemasan yang menarik walau sedikit namun menunjukkan kedisiplinan. Derap kuda kedua pasukan memasuki ibu negeri tak urung menimbulkan suara yang gaduh.
Anak anak yang belajar di asrama membaca kitab suci serta olah senjata berhenti mereka takjub hampir-hampir menyangka ada pertempuran besar. Mereka kini dapat mengamati satria-satria yang mereka kagumi dari dekat. Mereka adalah Prabu Puntadewa yang ahli wulang agama serta kebijaksanaan serta memiliki pusaka Kalimasada. Keteduhan dan ketenangannya menunjukkan pribadi sang Prabu adalah tokoh bijaksana. Arjuna yang tampan gemar laku prihatin menekuni ilmu para sesepuh, ketrampilan perang, menggunakan panah dan silaturahmi pada para ulama serta cerdik pandai. Nakula adalah cendekia muda yang menekuni bidang pertanian dan perikanan. Sadewa adalah pengelola perekonomian Amarta.
Kehadiran dua raja negara besar ini menimbulkan hiruk pikuk negeri Dwarawati. Serentak rakyat negeri menghentikan aktivitas berbelanja maupun aktivitas lainnya pergi berbondong-bondong ke alun-alun menyaksikan kedatangan Prabu Puntadewa dan Prabu Duryudana. Kedua raja membawa pasukan segelar sepapan namun tak bersenjata. Semua senjata diletakkan pada perbatasan karena keduanya datang dengan maksud damai mengunjungi Prabu Kresna.
Sang Duryudana menggunakan kereta perang yang dikendarainya sendiri ditarik dua kuda pilihan dipayungi senapati. Para penggiring menggunakan kuda seperti Dursasana dan adik-adiknya. Dursasana tidak henti hentinya tertawa terbahak-bahak dan mendongakkan kepalanya membanggakan keperkasaan serta kedisiplinan para Kurawa. Mereka mendampingi sang Paman Mahapatih Haryo Sangkuni yang tidak kalah dengan para keponakan menunjukkan kegagahannya namun tak urung tidak serasi dengan pakaian serta kuda tunggangannya yang kecil. Sepintas Mahapatih kelihatan tidak berwibawa bahkan ditertawakan para Kurawa.
Sementara dari Pandawa, Prabu Puntadewa menggunakan kereta dikendalikan sang adinda Arjuna. Mereka diiringi Bratasena, Nakula dan Sadewa. Bratasena tidak menggunakan kuda melainkan gajah sehingga tampak berwibawa. Di kanan kiri diapit kedua adik yang berkuda sekilas tidak dapat dibedakan. Pasukan penggiring menggunakan pakaian keemasan yang menarik walau sedikit namun menunjukkan kedisiplinan. Derap kuda kedua pasukan memasuki ibu negeri tak urung menimbulkan suara yang gaduh.
Anak anak yang belajar di asrama membaca kitab suci serta olah senjata berhenti mereka takjub hampir-hampir menyangka ada pertempuran besar. Mereka kini dapat mengamati satria-satria yang mereka kagumi dari dekat. Mereka adalah Prabu Puntadewa yang ahli wulang agama serta kebijaksanaan serta memiliki pusaka Kalimasada. Keteduhan dan ketenangannya menunjukkan pribadi sang Prabu adalah tokoh bijaksana. Arjuna yang tampan gemar laku prihatin menekuni ilmu para sesepuh, ketrampilan perang, menggunakan panah dan silaturahmi pada para ulama serta cerdik pandai. Nakula adalah cendekia muda yang menekuni bidang pertanian dan perikanan. Sadewa adalah pengelola perekonomian Amarta.