Sesungguhnya sejak awal genderang perang Bharata Yudha telah ditabuh ketika Kurawa dan Pandawa belum lahir. Persaingan Kurawa dengan Pandawa dimulai dari persaingan ibu-ibu mereka yaitu Dewi Gendari dan Dewi Kuntitalibrata mendapatkan Pandudewanata sebagai penerus tahta Astina. Pandudewanata menjadi penerus karena kedua saudaranya cacat, pertama kakaknya yaitu Raden Drestarata terlahir buta dan adiknya Raden Yamawidura pincang. Saat itu Dewi Gendari yang dinikahkan dengan Drestarata merasa kecewa harus mendapatkan suami yang tidak sempurna. Dalam dendamnya Gendari menginginkan anak-anak yang lahir dari rahimnya akan mampu mengalahkan anak-anak Kunti dan Pandudewanata. Setelah anak-anaknya lahir, selalu ditanamkan bahwa mereka harus mampu mengungguli Pandawa. Pada bawah sadar para Kurawa ditanamkan mind set bahwa Pandawa adalah lawan mereka.
Berbagai upaya dilakukan mulai dari cara-cara terhormat hingga cara yang tidak terpuji dilakukan. Peristiwa Bale Sigala-gala, Sumur Racun, hingga Pandawa Dadu adalah contoh berbagai strategi yang dilakukan Kurawa untuk melenyapkan Pandawa. Dalam benak Kurawa telah tertanam suatu faktor DNA permusuhan abadi yang tidak bisa begitu saja dihapuskan. Bahkan saat para Kurawa ditolong Pandawa dari para raksasa yang dipimpin oleh Citrasena. Seharusnya Kurawa segera menyadari bahwa Pandawa bukan lawan mereka namun rasa dendam dan malu tersebut justru meningkatkan ketebalan niat untuk mengalahkan dengan berbagai cara. Seperti dikatakan Adipati Karna pada Prabu Duryudana, “ Janganlah para Kurawa berputus asa karena kalah dan malu dengan Pandawa. Semestinya Kurawa harus belajar dari semangat Pandawa yang tidak mudah menyerah “ Nasehat dan teguran Adipati Karna tersebut menyadarkan Kurawa untuk tetap melanjutkan persaingan dengan Pandawa. Nasehat tersebut menanamkan atau memperkuat kembali mind set untuk mengalahkan yang sempat luntur dalam benak mereka.
Ketika Kurawa beranjak dewasa, peran sebagai penasehat dipegang oleh Patih Haryo Sangkuni. Patih Astina ini sebagai aktor yang sangat berperan yang memberikan arahan untuk menghilangkan Pandawa pada masa-masa damai. Berbagai peristiwa yang mencelakakan Pandawa merupakan skenario Patih Sangkuni. Sebaliknya pada Pandawa, peran Prabu Kresna menanamkan pentingnya strategi bagi Pandawa sangat mendasar. Suatu peperangan adalah adu strategi, terutama bagi pihak yang lebih lemah, upaya memilih dan mengatur strategi sangat penting.
Hingga perang Bharata Yudha berakhir, keduanya masih terbenam oleh keinginan melenyapkan Pandawa. Suatu peristiwa memalukan ketika Bimasena menghadap Drestarata pada akhir Bharata Yudha. Drestarata yang diliputi duka dan amarah karena kehilangan anak-anaknya menghendaki kematian Bimasena. Peluang tersebut muncul ketika Pandawa hendak melakukan penghormatan kepadanya. Namun intuisi kearifan Prabu Kresna mengingatkan hal tersebut, sehingga ketika Drestarata hendak merangkul sekaligus mencengkeram Bimasena makan digantikan dengan gada Rujakpolo. Bagaimana emosi Prabu Drestarata dibaca dengan baik oleh Prabu Kresna sang penasihat. Hal ini menandakan bahwa suatu strategi tetap diperlukan baik dalam perang maupun mempertahankan situasi damai serta mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Pada bisnis modern, strategi telah dirintis sejak awal mulai dari logo perusahaan hingga kebijakan bisnis. Strategi bukan hanya pada keputusan untuk membeli namun telah dibangun sejak masih ada dalam persepsi para pelanggan. Dalam bisnis, Hermawan Kartajaya mengatakan bahwa “marketing is about the battle is consumer mind“. Pernyataan ini menjelaskan bahwa konsep pemasaran berada pada hulu pemikiran konsumen yang memutuskan untuk mengingat, memilih, membeli dan mengevaluasi. Pernyataan ini pula menyatakan bahwa memperbaiki persepsi konsumen lebih sulit daripada memperbaiki produk.