Gaya Hidup dan Identitas
Ditulis oleh : Sudarmawan Juwono
Gambar : http://majalah.hidayatullah.com/wp-content/uploads/2014/10/gaya-hidup-remaja-masa-kini-600x396.jpg
Makna Gaya Hidup
Gaya hidup berasal dari kata ” life
style ”. Life artinya kehidupan. Sedangkan style adalah cara menyusun atau
mengkomobinasikan elemen-lemen di dalam seni, sastra, desain dan arsitektur
sehingga menghasilkan komposisi yang bermakna (Piliang, 2003). Gaya hidup
berbeda dengan cara hidup (way of life). Cara hidup ditampilkan dengan
ciri-ciri seperti norma, ritual, pola-pola tatanan sosial yang dekat dengan
pengertian budaya berasal dari pekerjaan, gender, lokalitas, etnisitas dan
umur. Sedangkan gaya hidup berkaitan ” hal-hal dan proses yang memiliki kesamaan
dalam tema-tema tertentu”.
Konsep gaya hidup adalah istilah
sosiologis dan antropologis yang menjelaskan mengenai ”pola-pola tindakan yang
membedakan antara satu orang dengan orang lain”. Didasarkan dari tindakan dan
sikap rasional dalam konteks tertentu. Tinjauan gaya hidup tidak terlepas dari
konsep dramaturgi yang dikemukakan oleh Erving Goffman. Erving Goffman (1959)
menunjukkan bahwa kehidupan manusia pada hakikatnya adalah penampilan teatrikal
dalam sebuah panggung. Teater ” atau panggung sandiwara” memerlukan ruang,
barang, bahasa tubuh, ritual, interaksi sosial untuk memfasilitasi gerak dan
keinginan manusia tersebut.
Bedakan dengan budaya yang
didefinisikan sebagai ” keseluruhan gaya hidup suatu masyarakat termasuk
kebiasaan, adat istiadat, sikap dan nilai-nilai mereka. Menurut Sobel dalam
Ibrahim (2003) definisi gaya hidup adalah :
(1) Bagian dari kehidupan
sehari-hari ekpsresif yang bersifat khas yang dipraktekkan oleh sekelompok
manusia dan secara tidak langsung menunjukkan identitas mereka.
(2) Gaya hidup dapat dipandang ”
estetitasi ” sebagai reaksi fungsional terhadap modernitas yang sangat
fungsional, sarana integrasi baru dalam, tanggapan terhadap sekularisasi dan
hilangnya makna kehidupan sehari-hari.
Gaya Hidup dan
Eksistensi Manusia
Sejalan dengan peningkatan
ekonomi masyarakat dan difusi kebudayaan maka cara-cara masyarakat menggunakan
barang untuk membangun batas sosial merupakan aspek utama. Proses konsumsi
merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup dimana produk sebagai simbol
identitas lebih penting dari nilai fungsionalnya. Dengan demikian penggunaan
ektasi juga bisa terjadi merupakan bagian dari ” gaya hidup ” yang disuarakan
oleh para pemakainya dan jaringan ekonomi yang memproduksinya. Hal ini penting
dipahami para peminat antropologi budaya. Melalui studi gaya hidup kita dapat
memahami apa yang mereka lakukan, mengapa mereka melakukan dan apa makna
tindakan tersebut bagi diri sendiri maupun orang lain. Ada pandangan yang
menempatkan gaya hidup harus dipahami dalam kerangka modernitas. Menurut
anggapan saya pribadi hal ini tidak sepenuhnya benar meskipun untuk modernitas
tidak bisa dipahami tanpa membahas gaya hidup. Gaya hidup telah tumbuh
bersamaan dengan kehidupan manusia sendiri ketika ” mereka merasa memerlukan bahwa
tindakan mereka harus dibentuk untuk mencitrakan pola hidup mereka”. Gaya hidup
dapat dimanifestasikan pada fashion, selera masakan, pilihan untuk bertempat
tinggal, cara mengkonsumsi sesuatu hingga bacaan dan masih banyak lagi.
Proses Pembentukan Gaya Hidup
Antropologi memperhatikan
kemampuan adaptasi dan kesejahteran manusia dengan memanfaatkan lingkungan
budayanya. Studi Walters dalam Chaney (2003) tentang penyalahgunaan obat bius
dan kriminalitas dari perspektif gaya hidup melihat ada 3 C yaitu Conditions
(kondisi), Choice (pilihan), dan Cognition (kognisi). Menurut Walters
penggunaan pertama kali dilihat dari keinginan bereksistensi dengan mengikuti
keanggotaan suatu kelompok. Kognisi adalah proses berpikir manusia mulai dari
pencarian (seeking), penerimaan (sensation), pemaknaan (perseption),
penyimpanan (storing) dan penggunaan (using). Gaya hidup di sini berfungsi
sebagai alternatif untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial.
Siapa tidak kenal dengan Mc
Donald’s ? Bre Redana (2003) menuliskan, ketika Mc Donald’s dibuka di Beijing
23 April 1991, tercatat rekor terpanjang dalam antrean makanan cepat saji
tersebut yaitu 40.000 pembeli (di Indonesia tahun 1990 konon Bambang N Rachmadi
sampai bingung jam berapa restoran ditutup karena antrian masih panjang). Masa
Perang Dingin sudah berlalu, senjata bukan lagi senapan atau spionase melainkan
tawaran hidup damai, nyaman dan senang atau ” have fun”. Clive Boom melukiskan
kekuatan Mc Donald’s seperti ideologi Amerika ” mudah dan tak perlu memikirkan
dunia yang ruwet”. Bisnis hamburger ini telah berkembang menjadi ” bisnis gaya
hidup”. Perusahaan ini telah membangun sekolah Hamburger di negeri asalnya.
Pelajaran yang penting bukan makanan yang diproses tapi konsumennya.
Mengkonsumsi Mc Donald’s bukan hanya mengisi perut tapi berarti meningkatkan
diri dalam gaya hidup modern Amerika.
Pendorong Gaya Hidup
Dalam novel Para Priayi Umar
Kayam dikisahkan pada masa lalu kaum bangsawan (priyayi) yang nota bene adalah
kelompok menengah atas mengajarkan pada anak mereka untuk bersekolah agar
menjadi ” pegawai pemerintah”. Gaji pegawai pegawai yang kecil tidak sebanding
dengan ” status ” yang mereka banggakan. Bagi mereka ekonomi nomor dua
sedangkan status sosial nomor satu. Berbeda kaum santri yang lebih cenderung mendorong
anak-anak mereka menjadi pengusaha. Bagi kaum santri penghasilan lebih penting
daripada status. Kedua contoh menunjukkan bahwa gaya hidup ditentukan orientasi
nilai-nilai. Kondisi ini menunjukkan pergeseran orientasi dan standar gaya
hidup .
Pengetahuan tersebut dapat
ditransmisikan selain keluarga maka melalui adanya berbagai even seperti
kunjungan ke kota raja atau melalui penampilan para pangreh praja (para
pejabat) di lingkungan terkecil. Pada era modern, peran penting disandang oleh
media massa. Peran media massa dalam penyebar luasan gaya hidup sangat
strategis. Gambar-gambar koran dari masa ke masa mencontohkan adanya budaya
yang harus dianut oleh masyarakat agar mereka dapat berintegrasi pada kelompok
sosial tertentu.
Sebagaimana lazimnya kebudayaan,
gaya hidup tumbuh dari proses peniruan (imitasi), pembelajaran dan sosialisasi.
Proses peniruan menempatkan figur orang atau kelompok tertentu menjadi
fokusnya. Hidup sehat seperti yang sering dillontarkan berkaitan dengan makanan
selalu ditampilkan adanya keluarga kelas menengah yang melakukan gaya hidup
sehat. Kelompok kelas menengah ini penting dalam proses peniruan karena
dianggap repersentasi dari kelompok yang memiliki tingkat mobilitas tinggi.
Peran lain adalah individu yang berpengaruh seperti bintang film, tokoh pejabat
atau wirausaha. Masyarakat akan lebih cenderung meniru tokoh-tokoh tersebut.
Proses pembelajaran sangat
penting karena akan timbul gap sehingga perlu dijembatani. Proses pewarisan
juga memegang peranan penting dalam masyarakat tradisional. Peran ini mulai
digantikan oleh kelompok gaya hidup atau literatur yang menunjang.
Gaya Hidup dan
Keseharian
Melalui sebuah gaya hidup kita
dapat menembus berbagai kelompok sosial. Gaya hidup sebagai pembeda kelompok.
Untuk menangkap gaya hidup kita dapat melihat barang-barang yang dipakai, cara
berperilaku sampai bahasa dan dialek yang digunakan.
Pilihan Gaya Hidup :
Pilihan Budaya
Pemahaman gaya hidup dalam
telaah kebudayaan harus dikembalikan pada konsep-konsep mengenai kebudayaan.
Kita akan mengambil contoh pemilihan makan yang menunjukkan gaya hidup
menentukan pilihan-pilihan sebuah tindakan. Makan sebagai suatu aktivitas
biologis akan berbeda dengan aktivitas sosial (berinteraksi dengan manusia
lain). Ketika Rony pergi bersama teman-teman sekolah SMA dulu maka Rony
mengajak makan di salah satu restoran cepat saji. Pilihan ke restoran cepat
saji bukan hanya dipilih Rony karena kepraktisannya namun juga ” kehidupan
modern ” yang digelutinya sehari-hari. Image bahwa restoran cepat saji merupakan
refkleksi gaya hidup modern menjadi dasar pilihannya. Modernitas cepat saji ini
juga didukung image kebersihan, citra rasa dan tempat yang tepat. Siapa saja
yang hidup di alam modern pasti bisa menerima ini.
Salah satu unsur kebudayaan
adalah image atau gagasan. Melalui gaya hidup maka gagasan terbentuk dan
dibangun. Stratifikasi masyarakat dalam kelompok profesi, ekonomi dan sosial
hingga kini terus berlangsung. Dalam pandangan Marxis, stratifikasi tersebut
tidak bermakna fungsional namun ” konflik”. Manusia sendiri memerlukan ”
pencitraan ” untuk memperkuat eksistensinya. Pilihan prestasi untuk membedakan
dengan orang lain tentu saja tidak mudah maka untuk membedakan dipilih
cara-cara yaitu dengan gaya hidup.
AB Susanto menceritakan bahwa
dalam masyarakat egaliter seperti di Amerika Serikat status sosial harus diraih
untuk dihargai. Status sosial merupakan penghargaan atas prestasi yang
diperoleh. Jika seorang teleh mencapai prestasi tertentu maka ia layak
ditempatkan pada status sosial tertentu. Hal ini melahirkan adanya kompetisi
sehingga diharapkan ada kesempatan yang sama. Prinsip-prinsip rasialis
merupakan penghalang kompetisi karena menempatkan individu pada tidak pada
kesempatan yang sama. Pengalaman ini terbukti pada terpilihnya Barack Obama pada
tahun 2008 sebagai presiden AS menunjukkan bahwa anti mentalitas rasialis yang
digemakan dalam karya Uncle’s Tom Cabin. Beberapa tahun sebelumnya kita
dikagetkan bahwa anak-anak muda kita dengan bangga memakai kaos bergambar ” Che
Guevara ” atau bahkan ” Osamah bin Laden. Penggunaan gambar tersebut sebagai
perlawanan terhadap gaya hidup mapan sebaliknya kaum muda mengisyaratkan adanya
” sesuatu yang lain ” apakah itu benar atau tidak tidak terlalu dipersoalkan.
Namun jelas kedua tokoh tersebut ada secara historis memiliki pengikut yang
fanatik. Kedua anggapan bahwa keduanya merupakan simbol perlawanan terhadap
kehidupan yang dikendalikan oleh dunia Barat.
Dalam masyarakat konsumen secara
samar dibedakan kelas sosial dengan status sosial. Jika kelas sosial mengacu
kepada pendapatan atau daya beli, status sosial lebih mengacu pada
prinsip-prinsip konsumsi yang berkaitan dengan gaya hidup. Dalam status ini ada
” unsur prestise” sehingga pemakaian simbol status menjadi penting. Kepemilikan
atau pengenaan simbol status diharapkan menimbulkan rasa hormat orang dan
mendukung citra tersebut. Misalnya arloji tertentu, Roll Royce menjadi bahasa
untuk merefleksikan citra tersebut.
Dimensi Gaya Hidup
Suatu hari dalam kehidupan kita
nyaris tidak pernah terlewatkan sedetikpun masalah “ gaya hidup “. Para
selebritis menonjolkan gaya kehidupan glamour tanpa takut-takut. Para politisi,
pejabat sebaliknya banyak yang takut menonjolkan gaya hidup. Kita sering
mendengar ” hidup sederhana ” sering dipahami sebagai gaya hidup yang
mencerminkan kesederhanaan ketimbang sebagai suatu filosofi. Anak-anak muda
tidak merasa keren kalau mereka belum memakai jeans merek tertentu, hand phone
keluaran terakhir. Kalangan menengah juga asyik mempertontonkan relijiusitas
mereka melalui pakaian, kebiasaan baru seperti ” umroh” atau mengunjungi
diskusi keagamaan.
Menempatkan Gaya hidup
dalam Peradaban
Kita kini hidup dalam suatu era
” gaya hidup ” adalah segalanya. Gaya hidup menjadi sesuatu yang penting untuk
menentukan berbagai hal. Presiden menganjurkan bagi para pejabat untuk memberi
contoh gaya hidup sederhana. Gaya hidup sederhana adalah refleksi dari prinsip
bahwa sesuatu yang bersifat optimum adalah baik, karena sumber daya terbatas
sehingga kita harus membudayakan untuk efisien. Kesederhanaan adalah wujud
effiensi dan nilai-nilai mengutamakan esensi daripada kulitnya. Dengan kata
lain gaya hidup berasal dari ” olah budi ” manusia memiliki nilai filosofis
yang mendalam ketika seseorang atau kelompok melakukan tindakan baik secara
moral maupun rasional.
Berbagai dimensi moral gaya
Hidup :
(1) Gaya
Hidup Konsumeris
Gaya hidup harus dilihat untuk
melakukan integrasi pada suatu kelompok sosial. Hidup masa sekarang ditandai
keberadaan manusia dalam kelompok sosial. Tanpa gaya hidup maka ” eksistensi ”
tiada berarti, penampilan adalah segalanya. Sebaliknya gaya hidup telah menjadi
senjata ampuh bagi para industriawan untuk mengemas dagangan mereka dalam suatu
produk yang menikam langsung ke jantung para konsumen. Para konsumen diajak
untuk mengkonsumsi produk mereka setelah diberi pendidikan melalui ”
iklan-iklan”.
(2) Gaya
hidup Filantropi
Kita mengenal bahwa ada
sekelompok masyarakat yang memiliki keyakinan bahwa hidupnya tidak berarti
tanpa membaktikan diri bagi orang lain. Pada kalangan milyuner seperti
Rocklefer atau Ford mereka membangun lembaga nirlaba untuk kepentingan sosial.
Kebiasaan tersebut kemudian bisa kita lihat dari penampilan para jutawan lain
atau perusahaan swasta untuk memperlihatkan kepedulian tersebut. Tidak bisa
disangkal bahwa upaya tersebut sebenarnya tidak terlepas kepentingan pencitraan
hal ini yang bisa dikatakan sebagai gaya hidup.
(3) Gaya
Hidup Terdidik
Sekolah atau lembaga pendidikan
telah lama menjadi ruang bagi pembentukan citra masyarakat beradab dan maju.
Ratusan lembaga pendidikan menggelar promosi pendidikan bagi masyarakat. Hal
ini sebenarnya bisa dipandang positif karena membangun citra masyarakat pintar.
Sisi negatifnya adalah pendidikan telah mengalami komodifikasi.
Ada beberapa gaya hidup lain
yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti gaya hidup
mewah-sederhana, gaya hidup relijius, gaya hidup hijau dan sebagainya.
Komodifikasi dan
Penyimpangan Gaya Hidup
Dalam masyarakat komoditas
(konsumeris) kecantikan, ketampanan, penampilan adalah komoditas yang sangat
berharga. Karena dalam masyarakat tersebut didukung budaya citra yang
mengutamakan penampilan. Kita contohkan ” Harley Davidson” di sini kita tidak
menampilkan sebuah kendaraan bermotor yang fungsional dapat dipergunakan
sebagai alat tranportasi. Kepemilikan HD adalah bagian dari gaya hidup. Hal
terpenting adalah ide mengidentikkan ” manusia atau kelompok ” menjadi bagian
produk manusia seperti Harry Potter Clubs.
Baudrillard dalam Piliang (2003)
mengemukakan bahwa dunia nyata atau tidak nyata pada media massa seperti
televisi sudah sulit dibedakan, kedua-duanya nyata dalam hadir dalam kehidupan
manusia. Televisi telah menjadi sumber informasi, tontonan serta iklan tentang
gaya hidup yang sangat strategis. Pada masyarakat yang memiliki budaya konsumsi
berlebihan seperti kaum selebriti atau kelas menengah atas lain secara otomatis
akan mencapai tahap belanja gaya hidup (life-style shopping). Bagi kelompok
masyarakat ini konsumsi bukan pada ” makna riil ” tapi pada pergantian jenis
komoditas, permainan dalam citra maupun berbagai interaksi para konsumennya.
Kesimpulan
Apa yang bisa diraih dalam
pembahasan gaya hidup ? Uraian ini mengemukakan bahwa gaya hidup merupakan
realitas budaya manusia. Kita tidak boleh terjebak pada kulitnya belaka yang
mungkin indah. Gaya hidup dilandasi nilai-nilai pragmatis kehidupan. Segi
positif gaya hidup adalah kemampuannya untuk mempengaruhi keputusan dan
tingkah-laku serta menyatukannya pada satu kelompok. Gaya hidup bisa dirubah
dari logika keinginan atau hasrat (desire or want) menjadi logika
kebutuhan (need).
Kepustakaan
Chaney, David. 2003. Life
Styles. Sebuah Pengantar Komprehensif. Penerjemah : Nurnaeni. Yogyakarta :
Penerbit Jalasutra.
Susanto, AB. 2001. Potret-potret
Gaya Hidup Metropolis. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Ibrahim, Indi Subandy. Tt. Lifestyle
Ectasy : Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta :
Penerbit Jalasutra.
Piliang, Amir Yasraf. 2003. Hipersemiotika
: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta : Penerbit
Jalasutra.
Siregar, Ashadi. Tt. Popularisasi
Gaya Hidup : Sisi Remaja dalam Komunikasi Massa. dalam Ibrahim, Indi
Subandy. Tt. Lifestyle Ectasy : Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas
Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Jalasutra.
Redana, Bre.Tt. Ongkos
Sosial Gaya Hidup Mutakhir. dalam Ibrahim, Indi Subandy. Tt. Lifestyle
Ectasy : Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta :
Penerbit Jalasutra.
Abdullah. Irwan. 2006. Kontruksi
dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.