Sangkan Paraning Manajemen Dalam Bharata Yudha
Dalam Bharata Yudha bilamana dipandang dalam perang modern atau perang masa lalu sekalipun mungkin akan terjadi kejanggalan. Namun demikian sesungguhnya kejanggalan tersebut dapat dijelaskan bilamana kita menggunakan paradigma budaya yang melihat dari konteks ruang dan waktu, pandangan dan budaya para pelaku, situasi yang terjadi pada saat itu. Paradigma yang dimaksud di sini adalah suatu cara memandang dari perspektif tertentu sehingga menghasilkan nilai-nilai kebenaran. Mengapa berperang ? Pertanyaan tersebut diajukan Arjuna ketika kepada Prabu Kresna ketika dirinya berada dalam kebimbangan di tengah-tengah medan peperangan. Prabu Kresna menjawab bahwa perang adalah suatu keharusan bilamana suatu kebenaran tidak bisa dilakukan dan tidak dapat ditunda serta harus ditegakkan. Keputusan berperang adalah pertimbangan hati nurani atau kearifan hati nurani. Pandangan ini sesuai dengan manajemen hati nurani yang mempertimbangkan nyawa dan korban yang berjatuhan. Keduanya adalah nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan.
Nilai Kemanusiaan
Peperangan dalam Bharata Yudha
dilandasi tujuan mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan. Dalam peperangan ini
Pandawa harus menghadapi saudara, orang tua dan guru mereka. Saat awal
peperangan hal ini mengendurkan semangat peperangan baik Pandawa terutama
Arjuna dan Puntadewa maupun Kurawa seperti Resi Durna, Resi Bisma, Adipati
Karna dan Prabu Salya. Bertitik tolak pada nilai-nilai kemanusiaan inilah
tokoh-tokoh wayang menjalankan dharma baktinya.
Kisah ini juga menunjukkan bahwa
Pandawa tidak selalu baik adakalanya mereka sebagai manusia biasa berbuat
kesalahan dan kelemahan atau kehilangan kewaspadaan. Prabu Kresna sebagai
pelaku di balik layar menunjukkan bahwa peperangan ini bukan semata-mata memperebutkan
Astina namun mewujudkan tatanan dunia yang lebih harmonis dan beradab.
Nilai-nilai kemanusiaan pada perang Bharata Yudha terjadi ketika Resi Bisma dan
Durna gugur di tangan pasukan Pandawa. Kegembiraan atas kemenangan dan duka
berkepanjangan karena keduanya tokoh yang sangat dihormati merupakan suatu
kondisi yang sangat manusiawi. Pembelaan Adipati Karna pada Astina yang
notabene adalah pihak yang berlaku dzalim didasarkan pada prinsip kemanusiaan
bahwa seorang satria harus membela negaranya. Tindakan Adipati Karna ini dalam
budaya Jawa dianggap mulia sekalipun yang dibela adalah pihak yang salah,
seperti dikatakannya pada Ibu Kunti ketika mengajaknya membela Pandawa. ”
Bagaimana anak ibu yang mulia, seperti saya ini membelot pada pihak yang memberi
kehidupan dan mengangkat martabat saya ”. Adipati Karna menegaskan bahwa tidak
sekali-kali dia mentolerir kesalahan Kurawa namun juga tidak membiarkan musuh
merebut sejengkalpun tanah Astina, negara yang memberinya kepercayaan menjadi
satria. Dengan Bharata Yudha bukan pertarungan hitam dengan putih saja
melainkan suatu perlombaan mencapai kemenangan pada posisi masing-masing.
Posisi yang dipandang rendah dalam Bharata Yudha adalah pihak yang tidak
menjaga harkat dan martabat kemanusiaan. Seperti Prabu Duryudana dikecam karena
mengutamakan kehormatan dirinya mengorbankan pihak lain, sedangkan Drestajumena
yang membunuh Resi Durna dikecam karena tidak mengindahkan ketentuan perang
Bharata Yudha serta menistakan manusia sekalipun yang bersangkutan adalah musuhnya.
Makna Hidup dalam
Manajemen
Seperti halnya pemasaran maka
pada hakikatnya peperangan adalah berkaitan dengan masalah konflik mengenai
kepemilikan dan pengelolaan sumber daya. Sumber daya pada prinsipnya
diperebutkan karena bersifat terbatas. Perang baik invasi atau bertahan adalah
cara untuk mendapatkan sumber daya untuk dapat dimanfaatkan secara baik. Dalam
pengelolaan sumber daya dikenal pemikiran untuk mendapatkan jaminan pemanfaatan
secara berkelanjutan. Secara dasar jaminan pengelolaan sumber daya bisa
berlangsung bilamana ada penguasaan secara mutlak. Hal inilah yang menimbulkan
peperangan untuk memperebutkan sumber daya sehingga dapat dikuasai. Sedangkan
prinsip hubungan mutualistik timbal balik sebenarnya juga merupakan pengelolaan
sumber daya yang lebih positif. Tawaran untuk pengelolaan sumber daya
yang bersifat win-win solution sebenarnya sudah diajukan pada saat Prabu Kresna
menjadi duta perdamaian Pandawa namun hasilnya nihil karena pihak Astina
menolak pembagian kekuasaan apalagi pengembalian wilayah yang selama ini
didudukinya.
Bagaimana prinsip-prinsip
tersebut dapat dijelaskan dalam manajemen modern ? Pendekatan manajemen modern
selama ini dikembangkan dalam konteks hubungan fungsional mulai dipertanyakan.
Manusia dalam beraktivitas dan berhubungan atau berinteraksi tidak hanya
sebatas ” fungsi ” melainkan proses pemaknaan. Interaksi manusia didasarkan
proses pemaknaan sesuai teori Interaksionisme Simbolik yang dikembangkan oleh
Herbert Blumer ada 3 ( tiga ) hal : (a) Manusia bertindak sesuatu atas dasar
makna makna yang ada pada sesuatu ( benda ) itu bagi mereka, (b) Makna
tersebut merupakan hasil interaksi sosial seseorang dengan orang lain dalam
masyarakat, (c) Makna makna tersebut disempurnakan pada saat proses interaksi
berlangsung , mellaui prosesfsiran oleh setiap individu dalam keterlibatannya
dengan symbol symbol yang dihadapi (Sunarto, 2000). Prinsip prinsip dasar teori
ineraksionisme simbolik yang dirangkum oleh George Ritzer menjelaskan bahwa :
(a) Manusia tidak seperti binatang yang lebih rendah karena mereka dikarunia
kapasitas berpikir, (b) Kapasitas berpikir tersebut terbentuk oleh danya
interaksi sosial, (c) Dalam interaksi sosial, manusia mempelajari arti symbol
sismbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan khusus untuk berpikir,
(d) Makna-makna dan simbol yang memungkinkan manusia secara khusus membedakan
aksi dan interaksi, (e) Manusia dapat mengubah makna makna dan symbol tersebut
yang mereka gunakan dalam kasi dan interaksi berdasarkan interpretqasi mereka terhadap
sistuasi tertentu, (f) Manusia dapat membuat modifikasi modifikasi dan
perubahan perubahan karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka
sendiri, yang memungkinkan mereka menguji aksi yang mana yang mungkin
dapat dijalankan , menilai tentang kerugian dan keuntungan serta memilih salah
satunya, (g) Pola-pola aksi dan ienteraksi yang telah jalin menjalin mmebentuk
kelompok kelompok dan masyarakat.
Dalam hal ini Herbert Blumer
selain mengembangkan pemikirannya sendiri juga mengadopsi pemikiran pemikiran
para pendahulunya George Herbert Mead (1863-1931) sebagai perintis dan
peletak dasar dasar teori interaksionisme simbolik. Konsep konsep
interaksionisme simbolik dikembangkan sebagai berikut : (a) Tentang konsep
diri, bahwa manusia bukan semata mata organisme yang naluriah tetapi merupakan
organisme yang memiliki kesadaran tentang dirinya, karena ia mampu memandang
dirinya, pikirannya dan berinteraksi dengan dirinya sendiri, (b) Konsep
perbuatan, ( action ) dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dalam dirinya
sendiri sehingga berbeda dengan binatang, (c) Konsep obyek, manusia hidup dalam
obyek yang meliputi hal hal yang menjadi sasaran dan perhatian manusia,
(d) Konsep interaksi, (e) Konsep joint action atau aksi bersama yang
mengganti konsep social act Meda sedangkan joint action adalah aksi
kolektifyang lahir dari perbuatan perbiuatan masing masing dicocokkan dan
diserasikan satu dengan yang lain.
Nilai-nilai Ketuhanan
Kisah wayang bertitik tolak dari
nilai-nilai ketuhanan. Berabad abad lamanya berbagai suku bangsa dan beragam
budaya telah menjadikannya sebagai panutan spiritualitasnya. Para pecinta
wayang telah menjadikan kisah ini acuan ideologinya. Bhagawat Gita merupakan
ajaran yang menghubungkan bahwa perang Bharata Yudha bukan semata-mata
pembunuhan namun merupakan peperangan yang mengacu pada nilai-nilai ketuhanan.
Ketika Arjuna ragu berhadapan dengan tokoh-tokoh yangs elama ini dianggap
sebagai sesepuh, guru dan saudaranya maka Prabu Kresna menjabarkan bahwa dalam
perang ini terdapat nilai-nilai relijus yang perlu diperjuangkan. Dalam
pewayangan konsep konsep ketuhanan seperti ditemukan dalam ” Manunggaling
Kawula Gusti ” atau ” Sangkan Paraning Dumadi ” merupakan ajaran yang menuntun
manusia untuk selalu ingat bahwa tujuan manajemen adalah menyatu dengan
kehendaknya. Manajemen adalah alat semata sedangkan tujuan adalah pengabdian
pada nilai nilai kemanusiaan. Seperti digambarkan pada tokoh Semar adalah
lambang bahwa dalam kepapaan dan kesederhanaan terdapat dimensi spiritualitas manusia.
Beradu Spekulasi
Mendatangkan Kerugian
Peperangan memiliki rasionalitas
yang didasarkan pada perhitungan bukan pada prinsip spekulasi untung-untungan.
Dalam hal ini seorang pemimpin harus memiliki keseimbangan antara rasio dan
emosional. Pada suatu waktu ketika Arjuna menurun semangat dan motivasinya
dalam melanjutkan peperangan maka Prabu Kresna memberikan wejangan untuk
membangun kembali spirit perjuangannya. Pengelolaan emosi merupakan
rasionalitas tersendiri yang dapat mengalahkan kekuatan yang jauh lebih besar.
Pada perang Bharata Yudha, masing-masing pihak menggunakan formasi atau gelar
perang sehingga dapat memobilisasi dan mengoptimalisasi kekuatan masing-masing.
Formasi perang bukan didasarkan suatu pandangan yang bersifat mistik melainkan didasarkan
gerak laju dan kedudukan pasukan lawan. Bahkan saat Arjuna bersumpah hendak
membunuh diri jika tidak bisa membalaskan kematian Abimanyu sebenarnya
merupakan strategi untuk memancing Jayadrata. Tanpa sumpah tersebut, Jayadrata
akan mundur dan bersembunyi, padahal hal ini tidak dikehendaki Pandawa.
Kepandaian Prabu Kresna membaca cuaca merupakan keahlian yang harus dimiliki
pasukan tempur. Hal ini menunjukkan bahwa peperangan tidak semata adu kekuatan
dan kemampuan fisik namun juga ada perhitungan.
Bertitik tolak dari pandangan
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa paradigma perang Bharata Yudha
dihubungkan dengan nilai-nilai manajemen merupakan cara pandang manajemen
berbasis budaya kemanusiaan. Pandangan ini sama sekali berbeda dengan pandangan
manajemen yang semata-mata berbasis rasionalitas atau fungsi. Bharatayudha
mengajarkan manajemen yang dilandasi pada makna hakiki tujuan manusia atau
sangkan paraning dumadi. Bahkan untuk tokoh-tokoh yang berdiri di pihak Kurawa
sekalipun mereka mengalami pergulatan batin untuk mempertahankan nilai-nilai
luhur yang diyakininya.