Strategi 15. Damai Atau Perang

MANAJEMEN STRATEGI
DALAM BHARATA YUDHA
Memenangkan Tanpa Mengalahkan

COLLECTIE TROPENMUSEUM Wajangfiguur van karbouwenhuid voorstellende een pauzeteken TMnr 4551-27.jpg

Oleh :
SUDARMAWAN JUWONO

Damai Atau Perang


Strategi Lainnya : Kearifan Strategi Dalam Bharatayudha




Pelaksanaan perang harus memperhitungkan segala risiko. Pemimpin yang baik akan memperhitungkan dengan baik keuntungan serta kerugiannya. Prabu Kresna telah mendorong Pandawa untuk mengambil jalan perang guna memperoleh keadilan. Sebaliknya Prabu Drestarata, Dewi Gendari, Resi Bisma telah menasehati Prabu Duryudana agar menempuh jalan perdamaian. Dalam mengambil keputusan  harus menghitung risiko sekalipun nampak rawan namun sebenarnya sudah dilakukan berdasarkan perhitungan yang cermat. Seperti Resi Bisma berani menentang Cakra milik Prabu Kresna karena tahu bahwa penasehat tidak mungkin membunuhnya.

Jalannya peperangan Bharata Yudha dikendalikan oleh para pemimpin masing-masing baik dari kubu Pandawa maupun Kurawa. Siapa yang sebenarnya membawa Pandawa dan Kurawa dalam kancah peperangan Bharata Yudha ? Siapa yang menentukan perang ini atau damai berlangsung ? Tiada lain adalah pemimpin. Prabu Puntadewa memutuskan mengikuti nasehat Sang Kresna mengirimkan duta agung untuk menyelesaikan masalah antara Pandawa dan Kurawa dengan damai. Sementara Prabu Duryudana dengan kukuh tetap berpendirian bahwa tidak ada pembagian atau pemberian apapun pada Pandawa. Bagi Kurawa perang adalah tidak dihindari. Sekalipun ada orang-orang Astina yang tidak mengharapkan agar perang tidak pernah terjadi seperti Arya Widura, Prabu Drestarata dan Dewi Gendari permaisurinya, Arya Widura, Dewi Kunti ibu para Pandawa, Resi Bisma, Resi Durna tidak terkecuali semua Pandawa. Namun Duryudana tetap tidak bergeming bahwa mereka tidak merelakan tanah sejengkal penguasaan Astina diberikan pada Pandawa. Hal ini menunjukkan bahwa para pemimpin merupakan penentu kebahagiaan atau sebaliknya kehancuran  rakyatnya

Sebelumnya sang Yudistira atau Prabu Puntadewa memandang perang identik dengan  penderitaan. Pertama, biaya dan pengorbanan untuk melakukan peperangan sangat besar. Sebab Pandawa harus menyiapkan senjata, kereta perang, makan untuk gajah-gajah dan kuda, menyantuni para isteri prajurit dan mempersiapkan perebekalan. Kedua, keuntungan perang bagi bangsa sangat minim sebaliknya menyebabkan penderitaan, dendam dan kebencian. Penderitaan terutama dirasakan oleh rakyat yang menjadi prajurit, kemungkinan besar mereka akan kehilangan orang tua, anak dan sanak kerabat mereka atau menderita cacat. Dengan demikian menurut Prabu Puntadewa maka peperangan sebaiknya dihindari dan sedapat mungkin tujuan dicapai dengan jalan perdamaian di mana semua pihak menerima berdasar kesepakatan.
Dari pemikiran tersebut maka Pandawa berunding serta meminta nasehat Prabu Kresna sebagai cendekiawan dan negarawan sejati. Keputusan yang diambil adalah Pandawa segera mengutus Prabu Kresna sebagai duta agung negari Amarta. Prabu Kresna menggunakan kereta perang yang melambangkan kehormatan dan harga diri. Kedatangan sang duta bukan untuk meminta belas kasihan pada Kurawa yang telah mengingkari hak-hak Pandawa. Konon kepergian Prabu Kresna didampingi para dewa yang dapat disimbolkan sebagai duta adalah membawa perdamaian dan pulang membawa keputusan kesepakatan.

Kisah ini menunjukkan bahwa Pandawa adalah kelompok yang gagah berani serta bertindak satria karena memandang Kurawa sebagai saudara mereka. Bangsa yang bijak dan penuh damai akan mengutanakan penyelesaian dengan damai dan sikap memandang bangsa-bangsa lain dengan pandangan sederajat dan penuh percaya diri. Maka perdamaian adalah diutamakan dibandingkan dengan mengangkat senjata serta harus didahulukan.
Previous
Next Post »