MANAJEMEN STRATEGI
DALAM BHARATA YUDHA
Memenangkan Tanpa
Mengalahkan
Oleh :
SUDARMAWAN JUWONO
Menyerang dan Mengampuni
Strategi Lainnya : Kearifan Strategi Dalam Bharatayudha
Menyerang
Duryudana telah dikalahkan namun
sisa sisa balatentara Kurawa yang terdiri dari Aswatama, Resi Krepa dan
Kartamarma berhasil menyelinap ke perkemahan Pandawa. Ketiganya membunuh
anak-anak Pandawa, namun gagal membunuh Parikesit. Sekalipun dapat melarikan
diri melalui suatu lobang yanmg disebut Gangsiran Aswatama namun Pandawa
menemukan ketiganya. Ketiganya kemudian dihukum oleh Prabu Kresna dan Pandawa.
Bagian akhir ini dianggap masih merupakan bagian dari Bharata Yudha yang
menunjukkan kelemahan atau ketidakwaspadaan Pandawa terhadap situasi peperangan
yang masih berlangsung sekalipun dianggap telah selesai dengan ditaklukkannya
Prabu Duryudana. Namun dendam kesumat masih berlanjut hingga membakar sisa sisa
pasukan Kurawa untuk melakukan perlawanan terakhir dengan segala cara untuk
membinasakan lawan tanpa memperdulikan aturan maupun kebenaran moral.
Kemenangan Pandawa telah merubah suasana medan
pertempuran, seluruh prajurit dan adipati menyatakan takluk. Aswatama bersama
Kartamarma dan Resi Krepa berniat menuntut balas. Sebenarnya niat Aswatama
diperingatkan Resi Krepa pada rencana busuk tersebut. Namun amarah dan dendam membuat
ketiganya gelap mata. Melalui lobang yang dibuat mereka menembus kegelapan
memasuki perkemahan Pandawa. Satu persatu orang yang dapat dibunuh segera
dibinasakan seperti Drestajumna, Srikandi, dan Pancawala. Namun ketika hendak
membunuh Parikesit, bayi tersebut menangis sehingga ketiganya melarikan diri.
Ketidakwaspadaan berbuah malapetaka.
Mengampuni
Setelah Aswatama, Krepa dan
Kartamarma berhasil menyusup ke kubu Pandawa dan membunuh beberapa tokoh
penting keluarga ini maka mereka kemudian melarikan diri ke hutan. Tidak lama
kemudian dapat dikejar oleh Kresna, Arjuna, Bimasena dan Yudistira. Aswatama
tidak mau menyerah bahkan mengeluarkan senjatanya yaitu panah Brahmasirah yang
merupakan senjata sangat berbahaya. Arjuna kemudian menandingi dengan panah
Pasopati. Namun akhirnya kemudian ditengahi oleh Batara Narada. Dengan berat
hati, Aswatama menyerahkan pusakanya. Akhirnya Aswatama tidak dibunuh oleh
Pandawa. Kejadian ini mengakhiri permusuhan antara Aswatama dengan
Pandawa.
Mengampuni Aswatama memiliki
beberapa implikasi strategis. Pertama, Aswatama dikenal sebagai orang yang
cerdas dan memiliki kesaktian tinggi. Melawan Aswatama bisa dilakukan Pandawa
toh mereka sudah menang. Namun demikian mengampuninya adalah memberi kesempatan
kemenangan yang lebih tinggi lagi karena menaikkan citra baik Pandawa. Pandawa
tidak lagi dikenal sebagai pendendam. Kedua, akan meredakan ketegangan antara
Astina dan Pandawa. Dengan mengampuni Aswatama yang telah membunuh kerabat
Pandawa berarti mengakui sebagian kesalahan Pandawa pada Bharata Yudha.
Mengampuni atau memberi
amnesti sebenarnya merupakan strategi yang sangat canggih. Pengampunan hanya
bisa diberikan oleh pihak-pihak yang telah yakin dengan kemampuan dirinya.
Motivasi pengampunan adalah memberi kesempatan bagi lawan untuk berpikir secara
emosional. Kita sering melihat ada tokoh-tokoh muda kritis menyuarakan
kepentingan rakyat yang tidak dapat dibungkam dengan kekerasan atau penjara.
Sebaliknya mereka dapat dibungkam dengan jabatan atau kelembutan.
Falsafah Jawa mengenai ”
dipangku ” yang berasal dari aturan dalam menggunakan huruf hanacaraka. Musuh
yang sulit ditundukkan melalui kekuatan rasional bisa dikalahkan dengan
kekuatan emosional. Dalam hanacaraka, huruf Jawa tidak bisa dimatikan dengan
berbagai tanda baca melainkan dengan cara dipangku. Istilah dipangku ini
menjadi menarik karena memiliki konotasi memberi kesempatan untuk duduk dengan
memangku atau menjadi bagian dari dirinya.
Strategi ini sangat tepat dipakai untuk menundukkan orang yang sangat
keras namun memiliki potensi besar. Menempatkan mereka sebagai lawan sangat
berbahaya sebaliknya ditempatkan sebagai ” saudara atau teman ” maka mereka
akan mudah dikendalikan.
Rahasia dari strategi ini
ada beberapa hal yang menyangkut keberadaan manusia. Pertama, setiap orang
ingin diakui keberadaannya. Kebutuhan pengakuan keberadaan ini sangat penting.
Kedua, menempatkan pada hubungan yang saling membutuhkan. Ketiga,
berlaku baik merupakan sesuatu
yang manusiawi. Pada dasarnya semua orang
itu ingin tetap hidup dan kematian adalah suatu keterpaksaan. Namun kalau tidak
ada pilihan maka kematian yang terhormat akan menjadi salah satu pilihan. Seperti kata para pejuang Ihkwanul Muslimin
Mesir dalam menggelorakan semangat
bertempurnya ” Hidup mulia atau mati
syahid ”. Bangsa Indonesia mengatakan ”
merdeka atau mati ” lebih baik berkalang tanah daripada hidup di bawah penjajah.
Kalau ada kesempatan hidup maka mereka ingin tetap menghendaki hidup secara
terhormat.
Perang Diponegoro lebih
dikenal dalam dokumen-dokumen resmi sebagai ” Perang Jawa ”. Perang yang
berlangsung selama 5 tahun ini memakan korban dan biaya besar. Pembiayaan
perang ini membangkrutkan pemerintah kolonial saat itu. Saat perang Diponegoro
berlangsung, salah satu pengikutnya yaitu Basah Sentot Prawirodirjo menjadi
tulang punggung penyerangan ke pihak lawan yaitu pasukan Belanda. Usia yang
masih sangat muda, 23 tahun, Sentot sudah meminpin pasukan Diponegoro. Sepak
terjang dan keberaniannya sangat ditakuti lawan. Belanda menyusun rencana untuk
membujuk Sentot untuk meninggalkan Diponegoro. Usaha ini berhasil, Sentot mau
menghentikan perlawanan asal diberi kesempatan memiliki pasukan dan dibiarkan
hidup damai di pengasingan. Akhirnya Sentot dikirimkan ke Sumatera hidup di
sana. Inilah salah satu cara untuk menundukkan lawan yang sulit dikalahkan
dengan cara kekerasan.