Strategi 16. Menyerang dan Mengampuni

MANAJEMEN STRATEGI
DALAM BHARATA YUDHA
Memenangkan Tanpa Mengalahkan

COLLECTIE TROPENMUSEUM Wajangfiguur van karbouwenhuid voorstellende een pauzeteken TMnr 4551-27.jpg

Oleh :
SUDARMAWAN JUWONO

Menyerang dan Mengampuni




Strategi Lainnya : Kearifan Strategi Dalam Bharatayudha



Menyerang 
Duryudana telah dikalahkan namun  sisa sisa balatentara Kurawa yang terdiri dari Aswatama, Resi Krepa dan Kartamarma berhasil menyelinap ke perkemahan Pandawa. Ketiganya membunuh anak-anak Pandawa, namun gagal membunuh Parikesit. Sekalipun dapat melarikan diri melalui suatu lobang yanmg disebut Gangsiran Aswatama namun Pandawa menemukan ketiganya. Ketiganya kemudian dihukum oleh Prabu Kresna dan Pandawa. Bagian akhir ini dianggap masih merupakan bagian dari Bharata Yudha yang menunjukkan kelemahan atau ketidakwaspadaan Pandawa terhadap situasi peperangan yang masih berlangsung sekalipun dianggap telah selesai dengan ditaklukkannya Prabu Duryudana. Namun dendam kesumat masih berlanjut hingga membakar sisa sisa pasukan Kurawa untuk melakukan perlawanan terakhir dengan segala cara untuk membinasakan lawan tanpa memperdulikan aturan maupun kebenaran moral.

Kemenangan Pandawa telah merubah suasana medan pertempuran, seluruh prajurit dan adipati menyatakan takluk. Aswatama bersama Kartamarma dan Resi Krepa berniat menuntut balas. Sebenarnya niat Aswatama diperingatkan Resi Krepa pada rencana busuk tersebut. Namun amarah dan dendam membuat ketiganya gelap mata. Melalui lobang yang dibuat mereka menembus kegelapan memasuki perkemahan Pandawa. Satu persatu orang yang dapat dibunuh segera dibinasakan seperti Drestajumna, Srikandi, dan Pancawala. Namun ketika hendak membunuh Parikesit, bayi tersebut menangis sehingga ketiganya melarikan diri. Ketidakwaspadaan berbuah malapetaka.

Mengampuni

Setelah Aswatama, Krepa dan Kartamarma berhasil menyusup ke kubu Pandawa dan membunuh beberapa tokoh penting keluarga ini maka mereka kemudian melarikan diri ke hutan. Tidak lama kemudian dapat dikejar oleh Kresna, Arjuna, Bimasena dan Yudistira. Aswatama tidak mau menyerah bahkan mengeluarkan senjatanya yaitu panah Brahmasirah yang merupakan senjata sangat berbahaya. Arjuna kemudian menandingi dengan panah Pasopati. Namun akhirnya kemudian ditengahi oleh Batara Narada. Dengan berat hati, Aswatama menyerahkan pusakanya. Akhirnya Aswatama tidak dibunuh oleh Pandawa. Kejadian ini mengakhiri permusuhan antara Aswatama dengan Pandawa. 

Mengampuni Aswatama memiliki beberapa implikasi strategis. Pertama, Aswatama dikenal sebagai orang yang cerdas dan memiliki kesaktian tinggi. Melawan Aswatama bisa dilakukan Pandawa toh mereka sudah menang. Namun demikian mengampuninya adalah memberi kesempatan kemenangan yang lebih tinggi lagi karena menaikkan citra baik Pandawa. Pandawa tidak lagi dikenal sebagai pendendam. Kedua, akan meredakan ketegangan antara Astina dan Pandawa. Dengan mengampuni Aswatama yang telah membunuh kerabat Pandawa berarti mengakui sebagian kesalahan Pandawa pada Bharata Yudha.

Mengampuni atau memberi amnesti sebenarnya merupakan strategi yang sangat canggih. Pengampunan hanya bisa diberikan oleh pihak-pihak yang telah yakin dengan kemampuan dirinya. Motivasi pengampunan adalah memberi kesempatan bagi lawan untuk berpikir secara emosional. Kita sering melihat ada tokoh-tokoh muda kritis menyuarakan kepentingan rakyat yang tidak dapat dibungkam dengan kekerasan atau penjara. Sebaliknya mereka dapat dibungkam dengan jabatan atau kelembutan.

Falsafah Jawa mengenai ” dipangku ” yang berasal dari aturan dalam menggunakan huruf hanacaraka. Musuh yang sulit ditundukkan melalui kekuatan rasional bisa dikalahkan dengan kekuatan emosional. Dalam hanacaraka, huruf Jawa tidak bisa dimatikan dengan berbagai tanda baca melainkan dengan cara dipangku. Istilah dipangku ini menjadi menarik karena memiliki konotasi memberi kesempatan untuk duduk dengan memangku atau menjadi bagian dari dirinya.  Strategi ini sangat tepat dipakai untuk menundukkan orang yang sangat keras namun memiliki potensi besar. Menempatkan mereka sebagai lawan sangat berbahaya sebaliknya ditempatkan sebagai ” saudara atau teman ” maka mereka akan mudah dikendalikan. 

Rahasia dari strategi ini ada beberapa hal yang menyangkut keberadaan manusia. Pertama, setiap orang ingin diakui keberadaannya. Kebutuhan pengakuan keberadaan ini sangat penting. Kedua, menempatkan pada hubungan yang saling membutuhkan.   Ketiga,  berlaku baik  merupakan sesuatu yang manusiawi.   Pada dasarnya semua orang itu ingin tetap hidup dan kematian adalah suatu keterpaksaan. Namun kalau tidak ada pilihan maka kematian yang terhormat akan menjadi salah satu pilihan.  Seperti kata para pejuang Ihkwanul Muslimin Mesir  dalam menggelorakan semangat bertempurnya  ” Hidup mulia atau mati syahid ”.  Bangsa Indonesia mengatakan ” merdeka atau mati ” lebih baik berkalang tanah daripada hidup di bawah penjajah. Kalau ada kesempatan hidup maka mereka ingin tetap menghendaki hidup secara terhormat.

Perang Diponegoro lebih dikenal dalam dokumen-dokumen resmi sebagai ” Perang Jawa ”. Perang yang berlangsung selama 5 tahun ini memakan korban dan biaya besar. Pembiayaan perang ini membangkrutkan pemerintah kolonial saat itu. Saat perang Diponegoro berlangsung, salah satu pengikutnya yaitu Basah Sentot Prawirodirjo menjadi tulang punggung penyerangan ke pihak lawan yaitu pasukan Belanda. Usia yang masih sangat muda, 23 tahun, Sentot sudah meminpin pasukan Diponegoro. Sepak terjang dan keberaniannya sangat ditakuti lawan. Belanda menyusun rencana untuk membujuk Sentot untuk meninggalkan Diponegoro. Usaha ini berhasil, Sentot mau menghentikan perlawanan asal diberi kesempatan memiliki pasukan dan dibiarkan hidup damai di pengasingan. Akhirnya Sentot dikirimkan ke Sumatera hidup di sana. Inilah salah satu cara untuk menundukkan lawan yang sulit dikalahkan dengan cara kekerasan.

Mengalahkan dengan cara kekerasan pada orang-orang seperti Sentot tidak akan memecahkan masalah justru sebaliknya menimbulkan masalah baru. Bisa terjadi akan terjadi perlawanan yang lebih besar. Seperti penangkapan Diponegoro pada saat perundingan pada tahun 1830 menjadi pelajaran berharga bagi para pejuang untuk tidak lagi berkompromi dengan Belanda. Perdamaian yang ditawarkan Belanda merupakan hal yang semu. Tidak mengherankan bilamana jiwa pemberontakan Diponegoro masih menggema di Jawa Tengah dan Yogyakarta  hingga masa sekarang ini. Salah satu kerajaan yang menyatakan diri berdiri di belakang Republik Indonesia adalah Yogyakarta.

Previous
Next Post »