Teori Tindakan Rasional dan Moral
Oleh : Sudarmawan Juwono
Tindakan
manusia dalam teori antropologi yang selama ini dipelajari disebabkan 2 (dua)
hal yaitu rasionalitas dan moralitas. Keduanya didorong faktor-faktor
lingkungan menjadi pemicu tindakan manusia. Persoalannya faktor-faktor apa yang
mendasari tindakan tersebut dan bagaimana pengetahuan tersebut berpengaruh?
Kita tentu tidak asing dengan pemberitaan masalah perebutan lahan baik berupa
tanah seperti terjadi beberapa waktu lalu di Meruya yang melibatkan sekelompok
warga dan perusahaan pengembang. Pemutusan hubungan kerja pada buruh pabrik.
Atau penertiban pedagang kaki lima oleh aparat. Dalam persoalan tanah Meruya,
mass media menyoroti konflik antar kedua pihak tersebut tapi tidak tertarik
menyoroti pihak kedua yaitu individu pelaku penjualan tanah yang merugikan
keduanya. Hal ini menggambarkan bahwa berbagai bentuk persoalan ekonomi maupun
tindakan manusia lainnya tidak terlepas dari peran individu-individu yang
menjadi penggeraknya. Aksi atau reaksi manusia tidak semata-mata bersifat moral
namun ada perhitungan untung rugi masing-masing individunya. Dalam hal ini para
antropolog tertarik untuk memahami ekonomi dalam konteks personal bukan dalam
pemahaman kolektif yang biasa dilakukan para sosiolog. Perspektif antropologi
budaya mengeksplorasi suatu sistem sosial yang dipengaruhi manusia sebagai
pribadi (person) dioperasikan dan diwujudkan dalam aktivitas manusia
sehari-hari. Dalam hal ini mereka tidak tertarik pada ide manusia sebagai
organisma atau suatu mesin bukan sebagai pribadi. Karya-karya yang mengacu pada
teori teori tersebut seperti Scott dan Popkin mewarnai dalam antropologi
ekonomi sebagai pendalaman dari antropologi budaya yang dikenal dengan istilah
ekonomi personalisme. Teori-teori ini penting tidak hanya untuk memperhatikan
gejala ekonomi (upaya memaksimalisasi keuntungan dan memperkecil modal atau
kerugian) namun juga mengenai pola pilihan tindakan manusia. Pada sisi lain
kita bisa menjelaskan bahwa bentuk aksi atau reaksi tidak selalu ada ” dalang
atau kekuatan kolektif” namun sebagai wujud yang muncul setiap saat akibat
tekanan yang tidak dapat ditanggung lagi.
Teori Tindakan Moral
Dalam
sebuah karyanya Scott (1973) The Moral Economy of the Peasant, digambarkan
bahwa kehidupan petani (peasant) adalah masyarakat yang harmoni dan stabil.
Komunitas petani ini adalah suatu kelompok sosial yang memiliki kepentingan
untuk menjaga kelangsungan keterikatan antar individunya. Mereka ini adalah
masyarakat yang ” mendahulukan selamat ”.
Suatu
pilihan tindakan penolakan dikembangkan lagi oleh James Scott ( 1983 ) dalam
bukunya “ Weapons of The Weak ; Everyday Forms of Peasant Resistance.
Resistensi adalah semua tindakan dari anggota masyarakat kelas bawah dengan maksud
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Para petani melakukan resistensi
atau melakukan perlawanan mempertahankan diri karaena terpaksa untuk
mempertahankan hidup. Perjuangan yang dilakukan para petani ini merupakan
perjuangan yang biasa biasa namun dilakukan terus menerus. Hal yang menarik
dari konsep Scott ini adalah resistensi hanya bersifat individual atau tidak
bersifat kolektif. Ada 3 (tiga) kategori resistensi yaitu bisa dilakukan.
Pertama, bersifat individual, spontan dan tidak terorganisasi. Kedua, tujuan
resistensi agar ada reaksi dari pihak yang dilawan. Ketiga, resistensi ini
bersifat ideologis atau mengarah pada resistensi simbolis. Berbeda dengan
perjuangan yang bersifat “ frontal “ maka resistensi adalah penolakan terhadap
sesuatu yang tidak bisa dilawan. Sifat resistensi itu sendiri adalah informal,
tersembunyi dan tidak teratur, apa
penyebab resistensi ? Scott menjelaskan bahwa perubahan lingkungan yang membuat
masyarakat petani melakukan resistensi. Penetrasi kekuatan pemodal yang menyebabkan
transformasi budaya dalam kehidupan desa mendorong para petani melakukan
resistensi. Hal ini menunjukkan bahwa para petani yang digambarkan sebagai
pihak yang lemah memiliki senjata dalam melawan kaum pemodal berupa perusakan,
masa bodoh, kejahatan, sabotase dan sebagainya. Dalam hal ini Scott beranggapan
bahwa resistensi didasari moral ekonomi petani ketika ada suatu “ aturan “ yang
mengancam kehidupan mereka. Konsep hegemoni ditunjukkan oleh Scott bahwa
pemodal menjepit kehidupan petani .
Scott
(1976) mengemukakan bahwa untuk menyelamatkan diri dari struktur kehidupan
mereka, masyarakat petani pedesaan menjalani gaya hidup gotong royong, tolong
menolong, melihat sejumlah persoalan yang dihadapi sebagai persoalan kolektif
serta pembagian hasil sama rata. Intensifikasi pertanian berupa komersialisasi
hasil hasil hasil pertanian merupakan ancaman bagi para petani, ia akan
mengakibatkan petani meninggalkan desa dan kemudian menjadi pengangguran di
kota. Dalam
kenyataan sehari-hari apa yang dialami kaum petani sebagaimana digambarkan
Scott juga terjadi di antara warga masyarakat. Situasi perekonomian yang
memburuk, PHK (pemutusan hubungan kerja), tuntutan keluarga, anak sakit
sementara masyarakat berdiam diri.
Tindakan
perlawanan terhadap dominasi yang menghimpit dapat dilihat dari penipuan,
penggelapan uang tetangga atau mencuri yang jauh dari prinsip moral mereka.
Namun karena mekanisme sosial dalam menghadapi kondisi sehari-hari yang
menghimpit mereka maka tindakan tersebut berjalan terus. Perlawan sehari-hari
juga dapat dilihat dari pemberian nama ejekan, ngutil, berbohong, sabotase
bahkan perlawanan yang tidak dapat dilihat oleh lawan mereka sendiri seperti
bunuh diri[1].
Teori Tindakan Rasional
Teori
Scott mendapat kritik keras dari Samuel Popkin (1979) yang mengemukakan bahwa
sistem bagi hasil sama rata pada masyarakat petani lebih disebabkan oleh
keengganan pemilik tanah untuk mebiarkan petani menjual sendiri hasil panennya
ke pasar. Popkin dalam bukunya The Rational Peasant : The Political economy
of rural society in Vietnam, menyebutkan bahwa tindakan menentang atau
melakukan perlawanan bukan karena moral ekonomi untuk mempertahankan komunitas
tradisional yang ada.
Petani
adalah orang-orang kreatif yang penuh perhitungan rasional bahkan bila
kesempatan terbuka maka mereka ingin mendapatkan akses ke pasar. Jadi
bertentangan dengan Scott yang menyebutkan kolonialisme dan kapitalisme merupakan
musuh petani karena mengancam eksistensi komunitas melainkan karena ”
eksistensi ekonomi individual”. Pada prinsipnya petani bersikap mengambil
posisi yang menguntungkan dirinya. Intensifikasi dan komersialisasi pertanian
justru berdampak positif daripada negatif. Kalau kemudian petani meninggalkan
desa untuk pergi ke kota, pada dasarnya bukan akibat intensifikasi pertanian,
melainkan karena para petani adalah orang orang rasional. Mereka selaiknya
kebanyakan orang lain dan ingin kaya. Prinsipnya para petani adalah manusia
yang penuh perhitungan untung rugi bukan hanya manusia yang didikat oleh
nilai-nilai moral. Bila mereka bereaksi terhadap faktor-faktor yang menekan
mereka maka bukan karena ” tradisi mereka ” terancam oleh ekonomi pasar yang
kapitalistik namun karena mereka ingin memperoleh kesempatan ” hidup ” dalam
tatanan ekonomi baru ini.
Bagaimana
Popkin menerangkan desa para petani sebagai sebuah ” komunitas ” tetapi sebuah
korporasi yang melihat adanya hubungan transaksional yang mengarah pada eksploitasi
bukan hubungan paternalistik. Menurut Sairin dkk (2002) ciri-ciri desa
masyarakat petani yang diduga memiliki kehidupan tradisional tersebut adalah :
- Desa tradisional pajak dibayar kolektif atau ditanggung bersama sebaliknya dalam desa terbuka maka adanya tanggung jawab pembayaran secara individual.
- Hubungan dengan pasar terbatas sebaliknya pada desa terbuka kekaburan batas desa dan dunia luar sangat tipis karena mereka berhubungan dengan pasar setiap hari..
- Ada larangan kepemilikan tanah bagi orang luar desa sebaliknya pada desa-desa terbuka bebas larangan kepemilikan pribadi. Privatisasi tanah hak milik dimungkinkan bukan tanah ulayat.
- Perasaan sebagai warga desa sangat kuat sebaliknya konsep kewargaan tidak ada.
Namun
apakah dalam desa tradisional tersebut berlaku prinsip tatanan moral seperti
dikemukakan Scott. Pertama, Popkin menjelaskan bahwa dalam prakteknya
pembayaran pajak dibayar secara kolektif tersebut terkandung manipulasi. Tidak
tertutup kemungkinan adanya eksploitasi warga kaya pada warga miskin karena
mereka memiliki pengaruh atau kekuasaaan yang lebih tinggi sehingga mereka
membayar justru lebih rendah. Kedua ekonomi pasar bukan sama sekali ancaman
bahkan memungkinkan mereka lebih bebas dari sistem yang ada selama ini. Hubungan
patron klien yang terjadi bukan karena tradisi melindungi yang lemah melainkan
suatu hubungan eksploitasi untuk mendapatkan sumber daya murah. Mereka diberi
kesempatan untuk hal-hal keci ” seperti mencari butir-butir padi yang tersisa ”
agar mereka tidak meinta bayaran sebagai tenaga kerja permanen. Sama sekali
bukan karena belas kasihan. Ketiga kepemilikan lahan lebih kecil artinya
daripada akses ekonomi. Melalui kepemilikan terbatas maka kelompok yang
berkuasa membatasi kepemilikan orang luar desa yang mampu menjadi pesaing.
Keempat konsep perasaan sebagai warga desa akan mendukung eksistensi kelompok
atau elit yang berkuasa memanfaatkan dukungan emosional sehingga status ekonomi
mereka terpelihara. Alhasil Popkin menegaskan bahwa yang berlaku bukan prinsip
moral melainkan prinsip rasional.
Dalam
pilihan tindakan secara kolektif , prinsip moral menekankan : (1) Pengorbanan
yang harus dikeluarkan termasuk risikonya, (2) Hasil yang mungkin diterima,
bila menguntungkan maka mereka akan ikut bila tidak mereka bersikap pasif (3)
Proses aksi yaitu dipertimbangkan tingkat keberhasilannya apakah lebih
bermanfaat secara kolektif atau tidak, (4) Kepercayaan pada kemampuan pemimpin
atau dapatkah sang pemimpin dipercaya atau tidak. Dengan demikian aksi-aksi kolektif
yang dapat dinilai mendatang keuntungan bagi mereka saja yang diikuti atau
didukung.
Antara Rasionalitas dan Moralitas
Pada
dasarnya Scott dan Popkin memiliki kesamaan dalam mencari akar ekpsloitasi di
luar prinsip-prinsip yang sebagaimana diwacanakan oleh Marx. Para pengikut
marxis bisa menyuarakan eksploitasi adalah suatu pertentangan kelas (suatu
pertentangan yang terorganisasi oleh kesadaran kelas) namun keduanya mampu
menyuguhkan pertentangan yang muncul dari kehidupan sehari-hari. Para petani diam-diam
menaikkan upah atau mogok tanpa membentuk serikat pekerja. Dalam studi Scott,
para petani harus berhadapan dengan para pemodal yang demikian mudah merebut
tanah mereka sementara mereka saling mencakar sendiri ” atau mencari selamat
sendiri-sendiri”. Di mata golongan kaya, keberadaan golongan miskin adalah
pengganggu yang baru berhenti setelah semua tetangga menjadi miskin (Sairin,
2003).
Pandangan
moral Scott dikritik oleh Popkin yang menjelaskan bahwa yang dilawan petani
bukan masalah revolusi hijau tapi kekuasaan para pemodal atau petani kaya.
Dikemukakan Popkin bahwa petani melawan bukan karena moral ekonomi tapi suatu
kesadaran rasional untuk bertahan.Sikap ini sama dengan para pemodal yang
mengharapkan keuntungan lebih banyak.
Sedangkan
apa yang dilawan dalam resistensi? Resistensi menurut Scott dan Popkin adalah
perlawanan terhadap “ suatu system proses produksi yang menghimpit “. Jika
Scott menggunakan istilah hegemoni maka system yang dilawan orang orang yang
lemah tersebut adalah suatu mode of production. Proses eksploitasi terhadap
petani petani tersebut melahirkan resistensi. Dalam perkembangan perkotaan kita
bisa banyak melihat pola pola resistensi seperti pedagang kaki lima yang
dikejar kejar aparat pemerintah namun kemudian kembali berdagang bila para
pengejarnya sudah pergi. Pandangan Scott bahwa moral ekonomi dan Popkin bahwa
resistensi dilahirkan kesadaran memilih tindakan yang terbaik.
Bertitik
tolak dari perbedaan pendapat itu, Hayami dan Kikuchi ( 1981 : 19-24 )
misalnya, mengaku tidak menolak pendekatan moral ekonomik Scott, tetapi juga
tidak tidak menentang pendekatan rational peasant Popkin. Melalui
pengamatan terhadap desa desa di Filipina dan Indonesia, hayami dan Kikuchi
berpendapat bahwa kecenderungan masyarakat petani pada dasarnya adalah saling
tolong menolong dan hak untuk hidup pada aras subsistens, tetapi mereka juga
menganut pemikiran rational peasant. Seorang petani pemilik tanah yang rasional
tentu kan lebih suka memperkerjakan tetangganya sendiri dengan dasar pertimbangan
hubungan tolong menolong dan patron client, daripada mengambil buruh tani di
pasar bebas. Akan tetapi, tidak berarti bahwa seorang pemilik tanah akan selalu
tunduk kepada norma dan moral pedesaan. Semua tergantung pada situasi dan
kondisi pada masa dan tempat tertentu.
Kedua
pendekatan tersebut cukup aplikatif untuk diterapkan pada kasus “ kampung kota
“ yang masih memiliki ciri-ciri masyarakat rural maupun urban. Namun dalam
mempelajari sistem keruangan kampung pada dasarnya juga berkait erat dengan pranata
pranata sosial budaya. Harus disadari bahwa warga kampung pada dasarnya
sebagian terdiri dari warga atau kelompok masyarakat yang telah tinggal di
tempat tersebut dalam jangka waktu lama dikendalikan “ ruang “ tersebut, mereka
juga diikat oleh tradisi dan perasaan. Ruang dan tradisi serta perasaan terkait
dengan indvidu maupun komunitasnya. Mereka tinggal bukan semata mata mencari
keuntungan tetapi untuk mencukupi kebutuhan keluarga pada aras subsisten
(ekonomi pada aras mempertahankan kebutuhan dasar).
Pandangan
ini senada dengan Boeke (1974) bahwa perkembangan masyarakat lebih bersifat
sosial daripada ekonomi. Boeke memperkenalkan nilai dan sikap masyarakat petani
sebagai limited needs atau oriental mitcism yakni suatu sikap merasa puas,
tenteram, damai tanpa harus memaksakan keingina lebih daripada yang mereka
miliki, Warga kampung pada dasarnya dalam kondisi terbelah ( dual society )
yaitu pada sisi lain mereka mempertahankan tradisi dan moral lokal atau tradisi
kecil (lihat Redfield, 1985) misalnya mereka terlibat dalam ekonomi subsisten
sedangkan pada aspek lain mereka harus terlibat dengan ekonomi kapitalis.
Sehingga tetap saja mereka menetapkan prinsip rasional untuk menerapkan
komersial. Sebaliknya mereka juga mempertahankan simbol simbol atau kepercayaan
meskipun harus mengeluarkan biaya seperti pengajian
Faktor Keputusan Lainnya
Dalam
khasanah kebudayaan hubungan manusia tidak hanya bersifat horisontal namun juga
vertikal. Dalam lapangan antropologi agama, peran kepercayaan pada aturan agama
diakui memiliki pengaruh tidak kecil dalam menentukan tindakan manusia. Kita
akan mengambil contoh ekstrim mengenai suatu perjalanan ke suatu tempat bukan
semata mata karena dorongan moral atau ekonomi melainkan prinsip yang
transendental (di luar alam) seperti perjalanan haji. Ritual haji telah
berlangsung ribuan tahun bahkan sebelum Nabi Muhammad lahir karena adanya
kepercayaan yang mengharuskan demikian. Sekalipun ada motif-motif ekonomi atau
lainnya namun harus diakui bahwa dasar dorongan untuk berperilaku atau
bertindak demikian adalah adanya kepercayaan pada suatu aturan. Agama atau
kepercayaan yang ada kemudian menentukan adanya prinsip-prinsip moral. Baru
kemudian larangan atau perintah tersebut kemudian dirasionalisasi. Moral dan
rasional berada pada tataran horisontal sementara agama pada tataran vertikal.
Weber
merupakan salah satu perintis mengenai masalah kekuatan agama menjadi faktor
penggerak dalam tindakan. Teori Protestantisme Weber menerangkan bahwa
keyakinan agama mendorong kaum Protestan untuk bekerja keras dan bersikap hemat
sehingga dapat menyumbang gereja serta tidak melakukan perbuatan yang dilarang
agama. Prinsip yang berawal dari kepercayaan agama ini kemudian mendorong
prinsip-prinsip kapitalisme murni atau kewirausahaan yang bertitik tolak pada
optimalisasi modal (kapital). Para peneliti juga memperluas etos-etos
kewirausahaan pada kasus kaum santri pedagang yang berasal dari Muhammadiyah di
Indonesia yang sering disebut Protestantisme Islam.
Para
pengkut Sikh menggunakan ikat kepala semacam surban, apakah tindakan mereka
semata-mata didasarkan moral ? Ilustrasi menarik dalam konteks Indonesia,
digambarkan penulis mengenai ” puasa atau pantang makan minum dalam kurun waktu
tertentu” yang dilakukan umat Islam. Mereka berpuasa karena adanya kewajiban
agama yang memerintah demikian bila tidak ada perintah tersebut hal tersebut
tidak akan dilaksanakan. Moralitas ini kemudian dikembangkan untuk menjaga
kesopanan dengan tidak makan minum di tempat umum bagi yang tidak berpuasa
termasuk umat Islam yang tidak berpuasa. Bahkan ada yang tidak beragama Islam
juga ikut berpuasa karena menghormati tentu ini bukan masalah keyakinannya.
Rasionalitas berpuasa kemudian diterangkan mengenai manfaatnya bagi kesehatan
serta perasaan untuk merasakan penderitaan orang yang menahan lapar. Artinya
puasa yang dilakukan umat Islam pada bulan Ramadlan bukan karena moral atau
rasional tapi sesuatu yang transenden[2].
Penggunaan
moralitas atau rasionalisasi dalam tindakan tidak selalu dibenarkan bahkan
memungkinkan terjadi suatu kondisi yang mempersempit keyakinan manusia sendiri.
Namun perlu juga sikap kritis untuk menganalisa suatu tindakan yang
mengatasnamakan kepentingan agama untuk kepentingan suatu kelompok atau
individu. Penguatan tindakan melalui penerimaan atau penolakan agama sangat
kuat dalam masyarakat tradisional maupun modern. Pada masyarakat tradisional,
agama memegang peranan kuat untuk menentukan aksi kolektif sehingga tindakan
dengan mengatasnamakan agama bisa menjadi pembenar. Sebaliknya pada masyarakat
modern suatu aksi untuk menolak ” tindakan agama ” juga bisa terjadi, bila
keduanya tidak bisa didamaikan akan timbul konflik. Kondisi yang sekarang
terjadi adalah kekaburan antara keduanya. Bahkan dalam masyarakat modern
seperti Amerika Serikat yang menjunjung demokrasi saja masalah agama yang konon
merupakan masalah individu juga masih diperdebatkan. Seperti halnya ajakan untuk
memasuki ekonomi pasar oleh para pemimpin Amerika ternyata bertentangan dengan
kebijakan dalam negeri yang memproteksi pertanian dalam negeri.
Hal
lain yang perlu dikemukakan adalah agama pada dasarnya mengembangkan hubungan
sosial yang tidak terbatas bersifat simbolik (sebagai simbol kepatuhan pada
Tuhan) tetapi manifestasi dalam hubungan kemasyarakatan. Bila tidak akan
terjadi penghalusan atau manipulasi seperti terjadi pemberian zakat dari
golongan kaya yang jumlahnya tidak seberapa dalam pengertian ekonomi tetapi
menjadi hubungan simbolik. Hubungan tersebut terbaca sebagai formalitas
kepatuhan pada ajaran agama dan ingat pada tetangganya yang miskin (Scott dalam
Sairin, 2003).
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan moral atau rasional merupakan
suatu pilihan yang tidak terlepas dari faktor faktor lingkungan dan sosial
budaya. Manusia adalah mahluk beragam yaitu mahluk pribadi, mahluk sosial dan
mahluk bertuhan, masih banyak sebutan lainnya memiliki penalaran dengan
berbagai potensinya. Sebagaimana dapat dilihat dalam penjabaran tersebut
perilaku manusia tersebut berawal dari apa yang dipikirkan dan diyakini
mengenai dunia mereka serta untuk menjelaskan tindakan mereka (Ahimsa-Putra,
2003) Teori-teori di atas dapat membuka wawasan kita mengenai berbagai hal
seperti perlawanan PKL saat dilakukan pembongkaran paksa oleh aparat,
perpecahan di antara kelompok masyarakat dalam menghadapi suatu tekanan. Masih
banyak lainnya fenomena yang tidak bisa kita pahami secara sederhana mengenai
kesetiakawanan sosial pada suatu organisasi tanpa melihat faktor rasionalitas,
moral atau lainnya secara berimbang. Penjelasan secara moral saja atau rasional
saja ternyata tidak memadai masih terdapat faktor lain di luar hal tersebut.
Kesemua itu juga perlu dikembalikan pada tujuan dasar yang digariskan dalam
ekologi kebudayaan yaitu suatu perilaku adalah upaya menyesuaikan diri agar
masalah yang ada dapat diatasi.
Kepustakaan :
Ahimsa-Putra,
Heddy Shri, Sumintarsih, Sarmini, Destha T. Raharjana. (2003), Ekonomi
Moral, Rasional dan Politik : Dalam Industri Kecil di Jawa. Yogyakarta :
Penerbit Kepel.
Mustain.
2007. Petani Vs Negara : Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara.
Yogyakarta : Ar Ruzz Media Group.
Sairin,
Sjafri, Pujo Semedi, Bambang Hudayana. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Scott,
James, C, 2000, Senjatanya Orang orang Yang Kalah : Bentuk Perlawanan Sehari
hari Kaum Tani, diterjemahkan oleh Rachman Zainuddin, Sayogyo dan Mien
Joebhaar. Jakarta : Yayasan Obor.
Popkin,
Samuel.L. 1979. The Rational Peasant. Berkeley : University of
California Press.
[1] Fenomena bunuh diri sebagai protes sosial
atau keputusasaan karena himpitan sosial yang tidak kunjung mereda pernah ramai
dalam mass media terjadi pada tahun 2007. Seorang penjual bubur ayam yang
merasa kehidupannya tidak berarti setelah beberapakali diangkut petugas trantib
akhirnya menggantung diri. Tragedi ini mengingatkan bahwa ada kekosongan moral
dalam masyarakat kita yang lebih suka bermain dengan simbol-simbol kebaikan
tapi kering dimensi sosialnya. Namun demikian, bunuh diri sebagai bentuk
moralitas dalam perspektif budaya di Gunung Kidul juga perlu dicermati. Bunuh
diri dianggap sebagai takdir karena adanya ” pulung gantung ” sesuatu
yang di luar kekuasaan manusia. ” Manungsa sakdermo nglakoni”
[2] Kesadaran transenden ini sebenarnya merupakan
pertahanan akhir suatu kesadaran manusia sebagai mahluk sosial. Namun apabila
kesadaran ini hanya mampu pada tataran normatif dan simbolik maka sesungguhnya
tujuan agama sendiri tidak bermakna sebagai ruang sosial manusia. Kondisi
inilah yang dikritik dalam pandangan moralis.