Teori Tindakan Rasional dan Moral

Teori Tindakan Rasional dan Moral


Oleh : Sudarmawan Juwono

Tindakan manusia dalam teori antropologi yang selama ini dipelajari disebabkan 2 (dua) hal yaitu rasionalitas dan moralitas.  Keduanya didorong faktor-faktor lingkungan menjadi pemicu tindakan manusia. Persoalannya faktor-faktor apa yang mendasari tindakan tersebut dan bagaimana pengetahuan tersebut berpengaruh? Kita tentu tidak asing dengan pemberitaan masalah perebutan lahan baik berupa tanah seperti terjadi beberapa waktu lalu di Meruya yang melibatkan sekelompok warga dan perusahaan pengembang. Pemutusan hubungan kerja pada buruh pabrik. Atau penertiban pedagang kaki lima oleh aparat. Dalam persoalan tanah Meruya, mass media menyoroti konflik antar kedua pihak tersebut tapi tidak tertarik menyoroti pihak kedua yaitu individu pelaku penjualan tanah yang merugikan keduanya. Hal ini menggambarkan bahwa berbagai bentuk persoalan ekonomi maupun tindakan manusia lainnya tidak terlepas dari peran individu-individu yang menjadi penggeraknya. Aksi atau reaksi manusia tidak semata-mata bersifat moral namun ada perhitungan untung rugi masing-masing individunya. Dalam hal ini para antropolog tertarik untuk memahami ekonomi dalam konteks personal bukan dalam pemahaman kolektif yang biasa dilakukan para sosiolog. Perspektif antropologi budaya mengeksplorasi suatu sistem sosial yang dipengaruhi manusia sebagai pribadi (person) dioperasikan dan diwujudkan dalam aktivitas manusia sehari-hari. Dalam hal ini mereka tidak tertarik pada ide manusia sebagai organisma atau suatu mesin bukan sebagai pribadi. Karya-karya yang mengacu pada teori teori tersebut seperti Scott dan Popkin mewarnai dalam antropologi ekonomi sebagai pendalaman dari antropologi budaya yang dikenal dengan istilah ekonomi personalisme. Teori-teori ini penting tidak hanya untuk memperhatikan gejala ekonomi (upaya memaksimalisasi keuntungan dan memperkecil modal atau kerugian) namun juga mengenai pola pilihan tindakan manusia. Pada sisi lain kita bisa menjelaskan bahwa bentuk aksi atau reaksi tidak selalu ada ” dalang atau kekuatan kolektif” namun sebagai wujud yang muncul setiap saat akibat tekanan yang tidak dapat ditanggung lagi.

Teori Tindakan Moral
Dalam sebuah karyanya Scott (1973) The Moral Economy of the Peasant, digambarkan bahwa kehidupan petani (peasant) adalah masyarakat yang harmoni dan stabil. Komunitas petani ini adalah suatu kelompok sosial yang memiliki kepentingan untuk menjaga kelangsungan keterikatan antar individunya. Mereka ini adalah masyarakat yang ” mendahulukan selamat ”.

Suatu pilihan tindakan penolakan dikembangkan lagi oleh James Scott ( 1983 ) dalam bukunya “ Weapons of The Weak ; Everyday Forms of Peasant Resistance. Resistensi adalah semua tindakan dari anggota masyarakat kelas bawah dengan maksud untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Para petani melakukan resistensi atau melakukan perlawanan mempertahankan diri karaena terpaksa untuk mempertahankan hidup. Perjuangan yang dilakukan para petani ini merupakan perjuangan yang biasa biasa namun dilakukan terus menerus. Hal yang menarik dari konsep Scott ini adalah resistensi hanya bersifat individual atau tidak bersifat kolektif. Ada 3 (tiga) kategori resistensi yaitu bisa dilakukan. Pertama, bersifat individual, spontan dan tidak terorganisasi. Kedua, tujuan resistensi agar ada reaksi dari pihak yang dilawan. Ketiga, resistensi ini bersifat ideologis atau mengarah pada resistensi simbolis. Berbeda dengan perjuangan yang bersifat “ frontal “ maka resistensi adalah penolakan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan. Sifat resistensi itu sendiri adalah informal, tersembunyi dan tidak teratur, apa penyebab resistensi ? Scott menjelaskan bahwa perubahan lingkungan yang membuat masyarakat petani melakukan resistensi. Penetrasi kekuatan pemodal yang menyebabkan transformasi budaya dalam kehidupan desa mendorong para petani melakukan resistensi. Hal ini menunjukkan bahwa para petani yang digambarkan sebagai pihak yang lemah memiliki senjata dalam melawan kaum pemodal berupa perusakan, masa bodoh, kejahatan, sabotase dan sebagainya. Dalam hal ini Scott beranggapan bahwa resistensi didasari moral ekonomi petani ketika ada suatu “ aturan “ yang mengancam kehidupan mereka. Konsep hegemoni ditunjukkan oleh Scott bahwa pemodal menjepit kehidupan petani .

Scott (1976) mengemukakan bahwa untuk menyelamatkan diri dari struktur kehidupan mereka, masyarakat petani pedesaan menjalani gaya hidup gotong royong, tolong menolong, melihat sejumlah persoalan yang dihadapi sebagai persoalan kolektif serta pembagian hasil sama rata. Intensifikasi pertanian berupa komersialisasi hasil hasil hasil pertanian merupakan ancaman bagi para petani, ia akan mengakibatkan petani meninggalkan desa dan kemudian menjadi pengangguran di kota. Dalam kenyataan sehari-hari apa yang dialami kaum petani sebagaimana digambarkan Scott juga terjadi di antara warga masyarakat. Situasi perekonomian yang memburuk, PHK (pemutusan hubungan kerja), tuntutan keluarga, anak sakit sementara masyarakat berdiam diri.

Tindakan perlawanan terhadap dominasi yang menghimpit dapat dilihat dari penipuan, penggelapan uang tetangga atau mencuri yang jauh dari prinsip moral mereka. Namun karena mekanisme sosial dalam menghadapi kondisi sehari-hari yang menghimpit mereka maka tindakan tersebut berjalan terus. Perlawan sehari-hari juga dapat dilihat dari pemberian nama ejekan, ngutil, berbohong, sabotase bahkan perlawanan yang tidak dapat dilihat oleh lawan mereka sendiri seperti bunuh diri[1].

Teori Tindakan Rasional
Teori Scott mendapat kritik keras dari Samuel Popkin (1979) yang mengemukakan bahwa sistem bagi hasil sama rata pada masyarakat petani lebih disebabkan oleh keengganan pemilik tanah untuk mebiarkan petani menjual sendiri hasil panennya ke pasar. Popkin dalam bukunya The Rational Peasant : The Political economy of rural society in Vietnam, menyebutkan bahwa tindakan menentang atau melakukan perlawanan bukan karena moral ekonomi untuk mempertahankan komunitas tradisional yang ada.

Petani adalah orang-orang kreatif yang penuh perhitungan rasional bahkan bila kesempatan terbuka maka mereka ingin mendapatkan akses ke pasar. Jadi bertentangan dengan Scott yang menyebutkan kolonialisme dan kapitalisme merupakan musuh petani karena mengancam eksistensi komunitas melainkan karena ” eksistensi ekonomi individual”. Pada prinsipnya petani bersikap mengambil posisi yang menguntungkan dirinya. Intensifikasi dan komersialisasi pertanian justru berdampak positif daripada negatif. Kalau kemudian petani meninggalkan desa untuk pergi ke kota, pada dasarnya bukan akibat intensifikasi pertanian, melainkan karena para petani adalah orang orang rasional. Mereka selaiknya kebanyakan orang lain dan ingin kaya. Prinsipnya para petani adalah manusia yang penuh perhitungan untung rugi bukan hanya manusia yang didikat oleh nilai-nilai moral. Bila mereka bereaksi terhadap faktor-faktor yang menekan mereka maka bukan karena ” tradisi mereka ” terancam oleh ekonomi pasar yang kapitalistik namun karena mereka ingin memperoleh kesempatan ” hidup ” dalam tatanan ekonomi baru ini.

Bagaimana Popkin menerangkan desa para petani sebagai sebuah ” komunitas ” tetapi sebuah korporasi yang melihat adanya hubungan transaksional yang mengarah pada eksploitasi bukan hubungan paternalistik. Menurut Sairin dkk (2002) ciri-ciri desa masyarakat petani yang diduga memiliki kehidupan tradisional tersebut adalah :

  1. Desa tradisional pajak dibayar kolektif atau ditanggung bersama sebaliknya dalam desa terbuka maka adanya tanggung jawab pembayaran secara individual.
  2. Hubungan dengan pasar terbatas sebaliknya pada desa terbuka kekaburan batas desa dan dunia luar sangat tipis karena mereka berhubungan dengan pasar setiap hari..
  3. Ada larangan kepemilikan tanah bagi orang luar desa sebaliknya pada desa-desa terbuka bebas larangan kepemilikan pribadi. Privatisasi tanah hak milik dimungkinkan bukan tanah ulayat.
  4. Perasaan sebagai warga desa sangat kuat sebaliknya konsep kewargaan tidak ada.

Namun apakah dalam desa tradisional tersebut berlaku prinsip tatanan moral seperti dikemukakan Scott. Pertama, Popkin menjelaskan bahwa dalam prakteknya pembayaran pajak dibayar secara kolektif tersebut terkandung manipulasi. Tidak tertutup kemungkinan adanya eksploitasi warga kaya pada warga miskin karena mereka memiliki pengaruh atau kekuasaaan yang lebih tinggi sehingga mereka membayar justru lebih rendah. Kedua ekonomi pasar bukan sama sekali ancaman bahkan memungkinkan mereka lebih bebas dari sistem yang ada selama ini. Hubungan patron klien yang terjadi bukan karena tradisi melindungi yang lemah melainkan suatu hubungan eksploitasi untuk mendapatkan sumber daya murah. Mereka diberi kesempatan untuk hal-hal keci ” seperti mencari butir-butir padi yang tersisa ” agar mereka tidak meinta bayaran sebagai tenaga kerja permanen. Sama sekali bukan karena belas kasihan. Ketiga kepemilikan lahan lebih kecil artinya daripada akses ekonomi. Melalui kepemilikan terbatas maka kelompok yang berkuasa membatasi kepemilikan orang luar desa yang mampu menjadi pesaing. Keempat konsep perasaan sebagai warga desa akan mendukung eksistensi kelompok atau elit yang berkuasa memanfaatkan dukungan emosional sehingga status ekonomi mereka terpelihara. Alhasil Popkin menegaskan bahwa yang berlaku bukan prinsip moral melainkan prinsip rasional.

Dalam pilihan tindakan secara kolektif , prinsip moral menekankan : (1) Pengorbanan yang harus dikeluarkan termasuk risikonya, (2) Hasil yang mungkin diterima, bila menguntungkan maka mereka akan ikut bila tidak mereka bersikap pasif (3) Proses aksi yaitu dipertimbangkan tingkat keberhasilannya apakah lebih bermanfaat secara kolektif atau tidak, (4) Kepercayaan pada kemampuan pemimpin atau dapatkah sang pemimpin dipercaya atau tidak. Dengan demikian aksi-aksi kolektif yang dapat dinilai mendatang keuntungan bagi mereka saja yang diikuti atau didukung.

Antara Rasionalitas dan Moralitas
Pada dasarnya Scott dan Popkin memiliki kesamaan dalam mencari akar ekpsloitasi di luar prinsip-prinsip yang sebagaimana diwacanakan oleh Marx. Para pengikut marxis bisa menyuarakan eksploitasi adalah suatu pertentangan kelas (suatu pertentangan yang terorganisasi oleh kesadaran kelas) namun keduanya mampu menyuguhkan pertentangan yang muncul dari kehidupan sehari-hari. Para petani diam-diam menaikkan upah atau mogok tanpa membentuk serikat pekerja. Dalam studi Scott, para petani harus berhadapan dengan para pemodal yang demikian mudah merebut tanah mereka sementara mereka saling mencakar sendiri ” atau mencari selamat sendiri-sendiri”. Di mata golongan kaya, keberadaan golongan miskin adalah pengganggu yang baru berhenti setelah semua tetangga menjadi miskin (Sairin, 2003).

Pandangan moral Scott dikritik oleh Popkin yang menjelaskan bahwa yang dilawan petani bukan masalah revolusi hijau tapi kekuasaan para pemodal atau petani kaya. Dikemukakan Popkin bahwa petani melawan bukan karena moral ekonomi tapi suatu kesadaran rasional untuk bertahan.Sikap ini sama dengan para pemodal yang mengharapkan keuntungan lebih banyak.

Sedangkan apa yang dilawan dalam resistensi? Resistensi menurut Scott dan Popkin adalah perlawanan terhadap “ suatu system proses produksi yang menghimpit “. Jika Scott menggunakan istilah hegemoni maka system yang dilawan orang orang yang lemah tersebut adalah suatu mode of production. Proses eksploitasi terhadap petani petani tersebut melahirkan resistensi. Dalam perkembangan perkotaan kita bisa banyak melihat pola pola resistensi seperti pedagang kaki lima yang dikejar kejar aparat pemerintah namun kemudian kembali berdagang bila para pengejarnya sudah pergi. Pandangan Scott bahwa moral ekonomi dan Popkin bahwa resistensi dilahirkan kesadaran memilih tindakan yang terbaik.

Bertitik tolak dari perbedaan pendapat itu, Hayami dan Kikuchi ( 1981 : 19-24 ) misalnya, mengaku tidak menolak pendekatan moral ekonomik Scott, tetapi juga tidak tidak menentang pendekatan rational peasant Popkin. Melalui pengamatan terhadap desa desa di Filipina dan Indonesia, hayami dan Kikuchi berpendapat bahwa kecenderungan masyarakat petani pada dasarnya adalah saling tolong menolong dan hak untuk hidup pada aras subsistens, tetapi mereka juga menganut pemikiran rational peasant. Seorang petani pemilik tanah yang rasional tentu kan lebih suka memperkerjakan tetangganya sendiri dengan dasar pertimbangan hubungan tolong menolong dan patron client, daripada mengambil buruh tani di pasar bebas. Akan tetapi, tidak berarti bahwa seorang pemilik tanah akan selalu tunduk kepada norma dan moral pedesaan. Semua tergantung pada situasi dan kondisi pada masa dan tempat tertentu.

Kedua pendekatan tersebut cukup aplikatif untuk diterapkan pada kasus “ kampung kota “ yang masih memiliki ciri-ciri masyarakat rural maupun urban. Namun dalam mempelajari sistem keruangan kampung pada dasarnya juga berkait erat dengan pranata pranata sosial budaya. Harus disadari bahwa warga kampung pada dasarnya sebagian terdiri dari warga atau kelompok masyarakat yang telah tinggal di tempat tersebut dalam jangka waktu lama dikendalikan “ ruang “ tersebut, mereka juga diikat oleh tradisi dan perasaan. Ruang dan tradisi serta perasaan terkait dengan indvidu maupun komunitasnya. Mereka tinggal bukan semata mata mencari keuntungan tetapi untuk mencukupi kebutuhan keluarga pada aras subsisten (ekonomi pada aras mempertahankan kebutuhan dasar).

Pandangan ini senada dengan Boeke (1974) bahwa perkembangan masyarakat lebih bersifat sosial daripada ekonomi. Boeke memperkenalkan nilai dan sikap masyarakat petani sebagai limited needs atau oriental mitcism yakni suatu sikap merasa puas, tenteram, damai tanpa harus memaksakan keingina lebih daripada yang mereka miliki, Warga kampung pada dasarnya dalam kondisi terbelah ( dual society ) yaitu pada sisi lain mereka mempertahankan tradisi dan moral lokal atau tradisi kecil (lihat Redfield, 1985) misalnya mereka terlibat dalam ekonomi subsisten sedangkan pada aspek lain mereka harus terlibat dengan ekonomi kapitalis. Sehingga tetap saja mereka menetapkan prinsip rasional untuk menerapkan komersial. Sebaliknya mereka juga mempertahankan simbol simbol atau kepercayaan meskipun harus mengeluarkan biaya seperti pengajian

Faktor Keputusan Lainnya
Dalam khasanah kebudayaan hubungan manusia tidak hanya bersifat horisontal namun juga vertikal. Dalam lapangan antropologi agama, peran kepercayaan pada aturan agama diakui memiliki pengaruh tidak kecil dalam menentukan tindakan manusia. Kita akan mengambil contoh ekstrim mengenai suatu perjalanan ke suatu tempat bukan semata mata karena dorongan moral atau ekonomi melainkan prinsip yang transendental (di luar alam) seperti perjalanan haji. Ritual haji telah berlangsung ribuan tahun bahkan sebelum Nabi Muhammad lahir karena adanya kepercayaan yang mengharuskan demikian. Sekalipun ada motif-motif ekonomi atau lainnya namun harus diakui bahwa dasar dorongan untuk berperilaku atau bertindak demikian adalah adanya kepercayaan pada suatu aturan. Agama atau kepercayaan yang ada kemudian menentukan adanya prinsip-prinsip moral. Baru kemudian larangan atau perintah tersebut kemudian dirasionalisasi. Moral dan rasional berada pada tataran horisontal sementara agama pada tataran vertikal.

Weber merupakan salah satu perintis mengenai masalah kekuatan agama menjadi faktor penggerak dalam tindakan. Teori Protestantisme Weber menerangkan bahwa keyakinan agama mendorong kaum Protestan untuk bekerja keras dan bersikap hemat sehingga dapat menyumbang gereja serta tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama. Prinsip yang berawal dari kepercayaan agama ini kemudian mendorong prinsip-prinsip kapitalisme murni atau kewirausahaan yang bertitik tolak pada optimalisasi modal (kapital). Para peneliti juga memperluas etos-etos kewirausahaan pada kasus kaum santri pedagang yang berasal dari Muhammadiyah di Indonesia yang sering disebut Protestantisme Islam.

Para pengkut Sikh menggunakan ikat kepala semacam surban, apakah tindakan mereka semata-mata didasarkan moral ? Ilustrasi menarik dalam konteks Indonesia, digambarkan penulis mengenai ” puasa atau pantang makan minum dalam kurun waktu tertentu” yang dilakukan umat Islam. Mereka berpuasa karena adanya kewajiban agama yang memerintah demikian bila tidak ada perintah tersebut hal tersebut tidak akan dilaksanakan. Moralitas ini kemudian dikembangkan untuk menjaga kesopanan dengan tidak makan minum di tempat umum bagi yang tidak berpuasa termasuk umat Islam yang tidak berpuasa. Bahkan ada yang tidak beragama Islam juga ikut berpuasa karena menghormati tentu ini bukan masalah keyakinannya. Rasionalitas berpuasa kemudian diterangkan mengenai manfaatnya bagi kesehatan serta perasaan untuk merasakan penderitaan orang yang menahan lapar. Artinya puasa yang dilakukan umat Islam pada bulan Ramadlan bukan karena moral atau rasional tapi sesuatu yang transenden[2].

Penggunaan moralitas atau rasionalisasi dalam tindakan tidak selalu dibenarkan bahkan memungkinkan terjadi suatu kondisi yang mempersempit keyakinan manusia sendiri. Namun perlu juga sikap kritis untuk menganalisa suatu tindakan yang mengatasnamakan kepentingan agama untuk kepentingan suatu kelompok atau individu. Penguatan tindakan melalui penerimaan atau penolakan agama sangat kuat dalam masyarakat tradisional maupun modern. Pada masyarakat tradisional, agama memegang peranan kuat untuk menentukan aksi kolektif sehingga tindakan dengan mengatasnamakan agama bisa menjadi pembenar. Sebaliknya pada masyarakat modern suatu aksi untuk menolak ” tindakan agama ” juga bisa terjadi, bila keduanya tidak bisa didamaikan akan timbul konflik. Kondisi yang sekarang terjadi adalah kekaburan antara keduanya. Bahkan dalam masyarakat modern seperti Amerika Serikat yang menjunjung demokrasi saja masalah agama yang konon merupakan masalah individu juga masih diperdebatkan. Seperti halnya ajakan untuk memasuki ekonomi pasar oleh para pemimpin Amerika ternyata bertentangan dengan kebijakan dalam negeri yang memproteksi pertanian dalam negeri.

Hal lain yang perlu dikemukakan adalah agama pada dasarnya mengembangkan hubungan sosial yang tidak terbatas bersifat simbolik (sebagai simbol kepatuhan pada Tuhan) tetapi manifestasi dalam hubungan kemasyarakatan. Bila tidak akan terjadi penghalusan atau manipulasi seperti terjadi pemberian zakat dari golongan kaya yang jumlahnya tidak seberapa dalam pengertian ekonomi tetapi menjadi hubungan simbolik. Hubungan tersebut terbaca sebagai formalitas kepatuhan pada ajaran agama dan ingat pada tetangganya yang miskin (Scott dalam Sairin, 2003).

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan moral atau rasional merupakan suatu pilihan yang tidak terlepas dari faktor faktor lingkungan dan sosial budaya. Manusia adalah mahluk beragam yaitu mahluk pribadi, mahluk sosial dan mahluk bertuhan, masih banyak sebutan lainnya memiliki penalaran dengan berbagai potensinya. Sebagaimana dapat dilihat dalam penjabaran tersebut perilaku manusia tersebut berawal dari apa yang dipikirkan dan diyakini mengenai dunia mereka serta untuk menjelaskan tindakan mereka (Ahimsa-Putra, 2003) Teori-teori di atas dapat membuka wawasan kita mengenai berbagai hal seperti perlawanan PKL saat dilakukan pembongkaran paksa oleh aparat, perpecahan di antara kelompok masyarakat dalam menghadapi suatu tekanan. Masih banyak lainnya fenomena yang tidak bisa kita pahami secara sederhana mengenai kesetiakawanan sosial pada suatu organisasi tanpa melihat faktor rasionalitas, moral atau lainnya secara berimbang. Penjelasan secara moral saja atau rasional saja ternyata tidak memadai masih terdapat faktor lain di luar hal tersebut. Kesemua itu juga perlu dikembalikan pada tujuan dasar yang digariskan dalam ekologi kebudayaan yaitu suatu perilaku adalah upaya menyesuaikan diri agar masalah yang ada dapat diatasi.

Kepustakaan :
Ahimsa-Putra, Heddy Shri, Sumintarsih, Sarmini, Destha T. Raharjana. (2003), Ekonomi Moral, Rasional dan Politik : Dalam Industri Kecil di Jawa. Yogyakarta : Penerbit Kepel.
Mustain. 2007. Petani Vs Negara : Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. Yogyakarta : Ar Ruzz Media Group.
Sairin, Sjafri, Pujo Semedi, Bambang Hudayana. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Scott, James, C, 2000, Senjatanya Orang orang Yang Kalah : Bentuk Perlawanan Sehari hari Kaum Tani, diterjemahkan oleh Rachman Zainuddin, Sayogyo dan Mien Joebhaar. Jakarta : Yayasan Obor.
Popkin, Samuel.L. 1979. The Rational Peasant. Berkeley : University of California Press.


[1] Fenomena bunuh diri sebagai protes sosial atau keputusasaan karena himpitan sosial yang tidak kunjung mereda pernah ramai dalam mass media terjadi pada tahun 2007. Seorang penjual bubur ayam yang merasa kehidupannya tidak berarti setelah beberapakali diangkut petugas trantib akhirnya menggantung diri. Tragedi ini mengingatkan bahwa ada kekosongan moral dalam masyarakat kita yang lebih suka bermain dengan simbol-simbol kebaikan tapi kering dimensi sosialnya. Namun demikian, bunuh diri sebagai bentuk moralitas dalam perspektif budaya di Gunung Kidul juga perlu dicermati. Bunuh diri dianggap sebagai takdir karena adanya ” pulung gantung ” sesuatu yang di luar kekuasaan manusia. ” Manungsa sakdermo nglakoni
[2] Kesadaran transenden ini sebenarnya merupakan pertahanan akhir suatu kesadaran manusia sebagai mahluk sosial. Namun apabila kesadaran ini hanya mampu pada tataran normatif dan simbolik maka sesungguhnya tujuan agama sendiri tidak bermakna sebagai ruang sosial manusia. Kondisi inilah yang dikritik dalam pandangan moralis.

Previous
Next Post »