Penulis : Sudarmawan juwono
Etika
rekayasa arsitektur adalah suatu aktivitas manusia yang menempatkannya pada
upaya kreatif memenuhi kebutuhan tempat tinggal manusia yang didasarkan konsep
filosofi moral dengan muatan nilai sosial serta kerangka nilai intelektual.
Dalam perspektif etika berdasarkan agama Islam, maka proses berpikit tersebut
memerlukan pemahaman secara kritis baik secara moral dan praktis atas landasan
ideologis mengenai kehidupan ini serta hubungan manusia dengan sang Khaliknya.
Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas tersebut tidak hanya harus
dipertanggungjawabkan secar moral dengan hubungan antar manusia maupun
lingkungan tetapi juga dikaitkan dengan keberadaan manusia sebagai hamba-Nya.
Guna mengetahui system nilai Islam diperlukan pemahaman mengenai dasar
keyakinan dan pandangan Islam mengenai rekayasa, arsitektur dan kehidupan
manusia.
Tuhan, Alam dan Manusia dalam Al Qur’an
Islam bagi
pemeluknya diyakini sebagai suatu sistem tata nilai yang memiliki pandangan
bahwa kehidupan adalah untuk beribadah kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa serta
dalam rangka membangun tatanan kehidupan yang berperadaban dengan membina
hubungan dengan manusia maupun alam semesta. Al Qur’an diturunkan sebagai
pedoman kehidupan manusia serta inspirasi dalam membina kehidupan yang mulia
sehingga memenuhi tujuan sesungguhnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Tujuan tersebut hanya dapat dicapai bilamana
dilakukan memenuhi asas amar makruf nahi munkar yaitu mengajak berbuat
kebajikan dan menolak kemunkaran sesuai dengan pandangan dalam Al Qur’an. Amar
makruf sebagai ajakan berbuat kebajikan juga ada yang bersifat langsung bisa
dilakukan namun juga adakalanya bersifat inspirasi. Demikian pula kemungkaran
adakalanya bisa dipahami secara gambling namun adakalanya tersembunyi. Tugas
manusia untuk berpikir keras melakukan tindakan yang sesuai dengan konsep
Islam. Ada beberapa nilai yang perlu dipahami guna memenuhi sikap amar makruh
nahi munkar secara luas yaitu sebagai berikut di bawah ini.
Pertama,
pengertian ibadah ini dalam arti yang luas yaitu mencakup segala sesuatu yang
dimotivasikan untuk memenuhi kehendak Allah dan memberi kemashlatahan manusia
serta alam semesta. Tindakan manusia tanpa terkecuali adalah ibadah yang
ditujukan kepadanya. Islam mengecam keras tindakan untuk mensekutukan dalam
tujuan kehidupan tersebut karena tanpa hubungan dengan Allah maka segala
sesuatu akan sia-sia belaka. Tindakan tersebut akan kehilangan makna dan
landasan berpijak.
Kedua,
pandangan manusia dalam memiliki kemampuan yang sangat tinggi dibandingkan
dengan mahluk ciptaan Allah lainnya namun sangat lemah dibandingkan dengan sang
Pencipta. Pandangan kelemahan dan keunggulan ini mendorong manusia untuk
bertindak selaku Khalifah (wakil Allah) di muka bumi namun tetap berpegang
teguh pada keyakinan bahwa dirinya tidak berarti apa-apa tanpa kehadiran
Allah.
Ketiga,
pandangan manusia untuk berpegang pada pengetahuan yang telah diwahyukan
melalui Nabi Muhammad SAW sebagai dasar dalam bertindak maupun berpikir. Al
Qur’an di antaranya berasal dari kata bacaan berarti adalah sesuatu yang wajib
dibaca untuk dipahami dan dilaksanakan. Keyakinan bahwa Al Qur’an adalah kitab
yang dimuliakan karena tidak tersentuh oleh satupun kesalahan serta memiliki
nilai keabadian mengandung makna yang lebih sekedar bacaan melainkan petunjuk
dan rahmat bagi seluruh manusia.
Keempat,
menyangkut tugas profetik manusia untuk menjadi pelaku yang menyebarkan sifat
kemuliaan Allah dengan bersikap rahmatan lil-alamin. Kemashlahatan merupakan
tujuan utama bagi tindakan manusia sebagai amanat ilahi. Kata amanat yang
sering diartikan sebagai kepercayaan yang harus dilaksanakan mengacu pada 2
(dua) kata kunci. Kuncinya adalah pemahaman terhadap islam dan iman, arti islam
(dari kata aslama) adalah keselamatan atau menyerahkan diri (aslam), kemudian
iman yaitu keyakinan (berasal dari kata aman) artinya damai. Alam semesta ini
disediakan untuk manusia bukan hanya untuk dieksplotasi saja melainkan untuk
dikelola sehingga memberikan manfaat secara berkelanjutan (mampu
mereproduksi-memproduksi kembali secara alamiah) bagi kehidupan yang
bermartabat. Perintah untuk mengelola atau me-manage ini tergambarkan dalam
ayat Al Qur’an yang mengajak manusia untuk memakmurkan bumi.
Kelima,
adalah kemampuan berpikir (nalar) manusia guna memahami ayat-ayat Allah baik
yang terkandung dalam Al Qur’an maupun Al Hadits atau alam semesta ini.
Landasan berpikir adalah iman yang
menyangkut ketentuan (takdir) Allah serta kehendak bebas manusia. Allah dalam
Al Qur’an menolak orang-orang yang tidak menggunakan akal pikiran, mengandalkan
kebiasaan, serta orang yang menyangkal landasan dasar dalam wahyu-Nya. Dalam
hal ini wahyu adalah sumber nilai dan inspirasi yang mendorong manusia untuk
melakukan pengamatan empiris, penyusunan pengetahuan hingga penarikan
kesimpulan. Pelajaran praktis tersebut tentunya tidak cukup berasal Al Qur’an karena bukan ilmu pengetahuan murni
melainkan adanya dorongan untuk mengamati serta meneliti hingga contoh-contoh
dan dasar yang tidak terbantahkan.
Dari kelima
nilai-nilai Islam tersebut terkandung pemahaman bahwa manusia harus selalu
mendekatkan diri serta mendasarkan diri pada nilai-nilai agama (sering
disingkat dengan bertakwa). Nilai-nilai ini juga mendorong untuk bersikap
kreatif menemukan jalan keluar bagi kemashlahatan umat manusia serta menjauhkan
dari kerusakan.
Arsitektur dalam Makna Al Qur’an
Arsitektur
secara praktis diartikan sebagai lingkungan binaan yaitu lingkungan tempat
tinggal yang dibuat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Konsep
arsitektur ditemukan banyak dalam Al Qur’an, pembahasan mengenai hal ini akan
dikembangkan secara tersendiri. Pada bagian ini dikemukakan konsep-konsep
mengenai lingkungan binaan yang lebih bersifat praktis.
Manusia
memerlukan tempat tinggal, dalam Al Qur’an digambarkan Adam sebagai bapak
manusia tinggal pada lingkungan yang sangat alami yaitu jannah. Jannah atau and
adalah suatu lingkungan alami yang sangat kondusif bagi kehidupan manusia dan
masyarakatnya. Selanjutnya manusia tinggal pada lingkungan yang subur memiliki
kandungan air yang baik serta masyarakat yang produktif dan memiliki tatanan
nilai baik. Tempat tinggal manusia dengan masyarakatnya kemudian disebut sebagai
balad (negeri) yang tidak hanya merupakan unsur bangunan melainkan ada
masyarakat (warga). Balad kemudian berkembang menjadi madina yang lebih luas
dan kompleks karena menyangkut kenegaraan dan kewarganegaraan di mana
terkandung di dalamnya konstitusi yang mengikat warga serta kumpulan balad
lainnya yang membangun peradaban. Dari
konsep madina kemudian dikenal civil society atau masyarakat madani atau
masyarakat yang beradab. Contoh yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah
membangun kota Madinah sebagai pusat kebudayaan dan politik sebagai ruang
peradaban Islam pada masa itu.
Nabi
mengajarkan bahwa yang dikembangkan pertama bukanlah pasar karena ruan tersebut
pasti akan berkembang dengan sendirinya atau telah ada sebelumnya namun masjid.
Kata masjid menjadi penting karena merupakan tempat beribadah, di mana ibadah
tersebut di antaranya adalah bagaimana membina hubungan dengan warga masyarakat
lain yang plural. Sendi-sendi masjid ini merupakan pondasi iman yang menyatukan
manusia dengan kehendak Allah SWT serta menyatukan manusia sebagai saudara yang
saling menolong dalam konteks amal kebajikan. Dari masjid dibangun masyarakat
serta tatanannya yang berperadaban termasuk mengelola pasar sebagai ruang
ekonomi. Nabi juga mengembangkan hubungan ekonomi secara social dengan meminta
warga asli Madinah memberikan wakaf pada warga pendatang agar dapat bekerja
dengan baik. Dengan demikian pengertian persaudaraan dalam memiliki nilai yang
sangat luas baik secara emosional, cultural dan social maupun teologis sebagai umat Allah yang Maha
Rahman dan Rahim.
Al Qur’an
menunjukkan adanya kemampuan manusia untuk membangun tempat tinggal dari segala
bahan atau material dan lokasi. Pada daerah yang subur, datar hingga daerah
yang terjal. Kemampuan membangun tempat tinggal ini juga dihubungkan dengan
sifatnya untuk berinteraksi, berperilaku positif, beribadah serta memenuhi
kebutuhan hidup secara wajar. Al Qur’an menganjurkan untuk memenuhi kebutuhan
hidup secara proporsional (wajar), tidak berlebihan serta merugikan orang lain
atau merusak alam. Tindakan pengrusakan dan berlebih-lebihan tidak sesuai
dengan sunatullah. Hal ini tidak akan terjadi bilamana manusia tetap bercermin
dan bertitik tolak dari wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Pengejawantahan
arsitektur sebagai karya manusia akan bergantung pada lingkungan dan budaya
mereka. Dalam hal ini para fukaha (ahli hukum Islam) telah memberikan landasan
berupa kaidah al-urf yaitu budaya setempat yang bisa dikembangkan. Segala
kebajikan pada dasarnya islami sehingga bisa dimanfaatkan. Prinsip
vernakularisme yaitu pandangan arsitektur menyesuaikan dengan alam lingkungan
setempat memiliki pandangan dasar melalui kaidah fikih tersebut. Penjabaran
langsung mengenai kaidah tersebut dapat dibaca pada bahasan mengenai kaidah
fikih maupun kaidah mashlahah.
Dari bahasan
tersebut dapat dipahami bahwa arsitektur memiliki landasan ideologis maupun
panduan praktis yang perlu dikembangkan sesuai nalar dan kebutuhan manusia.
Pedoman dan Inspirasi Rekayasa Arsitektur dalam Wahyu : Rekayasa
sebagai Berkah
Rekayasa
menghasilkan teknologi yang diharapkan bermanfaat bagi manusia secara umum.
Islam mengingatkan manusia agar menjadikan teknologi sebagai produk rekayasa
sebagai berkah. Akibat perilaku manusia yang menantang alam serta memaksaan
pandangan anti-Ketuhanan atau moral menunjukkan bahwa rekayasa adalah bencana.
Perilaku kaum Ad yang telah memiliki kemampuan membangun rumah-rumah di atas
gunung juga tidak luput dari kecaman Allah karena menjadi kemampuan mereka bertentangan
dengan ketertundukan pada ajaran ilahi. Perkembangan rekayasa arsitektur
dituntut pada komitmen antara lain keadilan manusia, lingkungan, keindahan
serta misi profetik relijiusitas.
Keadilan
manusia, merupakan dasar dari tindakan karena Allah mengisyaratkan bahwa doa
kaum kafir yang teraniaya akan didengar oleh Allah. Iman adalah konsekuensi
pribadi masing-masing individu namun berbuat adil merupakan konseskuensi
bersama. Banyak ajaran-ajaran moral yang menganjurkan prinsip keadilan
tersebut. Hal ini sesuai dengan prinsip masyarakat Madani yang menegaskan bahwa
landasan peradaban adalah keadilan. Keadilan di sini meliputi terpenuhi hak-hak
kemanusiaan seperti pangan, keamanan, berbicara, berserikat dan menjalankan
ibadah. Bebas dari gangguan adalah bagian dari hak keamanan. Bangunan yang baik
akan memberikan keamanan bagi lingkungan baik fisik maupun sosial (tetangga).
Islam mengajarkan bahwa kehidupan manusia pada dasarnya adalah bertetangga,
dunia adalah suatu system ketetanggaan.
Lingkungan,
adalah sumber daya manusia baik ruang, air maupun hasil budaya lainnya.
Pemeliharaan lingkungan tidak boleh bersifat temporer melainkan ditujukan pada
prinsip keberlanjutan. Asas keberlanjutan ini telah dicanangkan melalui komisi
Brundtland sejak tahun 1987 lalu. Sayang sekali asas ini tidak banyak
dielaborasi dalam prinsip-prinsip budaya setempat sehingga tidak membumi.
Konsep green architecture atau brown architecture pada dasarnya mengacu pada
landasan keberlanjutan. Bersikap alami serta merekayasa untuk mendapatkan
system pengelolaan energy yang efisien serta ramah lingkungan dan sosial
merupakan tujuan yang harus dicapai dari upaya memakmurkan lingkungan (bumi).
Keindahan,
adalah sifat rekayasa yang harus memenuhi rasa dan citra estetika. Keindahan
tidak bisa ditafsirkan dengan kemewahan melainkan dari adanya proporsi,
keseimbangan, kejutan, kesederhanaan atau kemudahan. Islam justru mengajarkan
prinsip keindahan yang sederhana seperti sifat ilmu yang bersifat menjernihkan
atau menyederhanakan.
Terakhir
adalah landasan keimanan atau tauhid sebagai misi profetik yang melingkupi
prinsip-prinsip di atas. Tauhid di sini mencakup keseimbangan antara Tuhan dan
manusia –alam semesta. Dalam tauhid ditekankan aspek ubudiyah rekayasa yang
mendekatkan diri kepada-Nya. Penghargaan pada lingkungan juga menyatakan pada
penghormatan kepada sang pencipta bukan sebagai bentuk kesombongan.
Berbagai
karya arsitektur masyarakat Islam terdahulu bisa menjadi pijakan dalam berkarya
namun sebaiknya tetap kritis memahami persoalan yang mendasari karya-karya
tersebut dibuat bukan semata-mata melihat wujud fisiknya saja. Misal keindahan
Taj Mahal barangkali lebih tepat dianggap sebagai monument pengagungan manusia
dibandingkan pengagungan Tuhan. Karya tersebut perlu dilestarikan bahwa tindakan
manusia memiliki dampak yang sangat besar serta berjangka waktu lama.
Keberadaan pyramid missal adalah suatu monumen yang memberikan pengetahuan
mengenai kekuasaan dan arsitektur serta kebenaran wahyu mengenai keberadaan
Fir’aun sebagai tokoh penentang misi profetik dalam Al Qur’an.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan
mengenai pandangan rekayasa arsitektur dalam konsep Islam. Rekayasa sangat
dihargai dalam Islam sebagai suatu tindakan kreatif yang perlu dilakukan untuk
memenuhi tujuan ubudiyah yaitu penghambaan diri kepada Allah SWT secara
sempurna. Proses penghambaan atau pelayanan ini diwujudkan melalui amar makruf
nahi munkar dengan membangun tatanan kehidupan manusia yang berkeadilan dan
sejahtera di bawah naungan prinsip prinsip ajaran ilahi. Dalam hal ini Islam
menegaskan keselamatan menjadi tujuan dasar yakni selamat di dunia dan akhirat.
Dengan mengingat bahwa dunia adalah ladang bagi akhirat maka tepat pula prinsip
bahwa ladang tersebut harus dipersiapkan sebaik-baiknya.