Penulis : Sudarmawan juwono
Menguak makna adalah suatu “ pergulatan “ mencari ide ide dasar dan cita cita yang barangkali sangat tersembunyi. Teks sebagai suatu makna akan berubah menjadi suatu konsep budaya dan hal tersebut adalah kemungkinan bagaimana mencari “ spirit “ atau ruh yang menghidupkan dan menjadikan “ jati diri “ kemanusiaan budaya tersebut. Pemiskinan makna adalah proses penghilangan atau penyempitan makna makna yang menjiwai sehingga sekedar menjadi teks atau produk yang sangat pragmatis. Maka kehidupan menjadi kering –tindakan manusia semata mata dinilai sebagai hal yang sangat “ fungsional “ ukuran nilai hanya berdasarkan nilai manfaat secara “ utility “ kehidupan manusia menjadi “ apa yang digambarkan dalam kitab suci yaitu “ seperti binatang ternak –makan minum dan berkembang biak tanpa tujuan yang filosofis. Sehingga dari sinilah “ makna bermukim (proses) kemudian permukiman (produk) –dimulai yang menujnjukkan bahwa “ makna “ tersebut perlu digali dan digagas kembali dalam upaya meningkatkan dalam bingkai yang “ manusiawi “ dan transenden “.
Lingkungan Binaan dan Permukiman
Pada dasarnya lingkungan binaan ditujukan untuk membentuk apa yang disebut sebagai permukiman. Manusia membentuk lingkungan yang dapat diartikan sebagai lingkungan binaan untuk membedakan dengan lingkungan alami, adapun tujuannya untuk mewadahi aktivitas dalam kehidupannya. Dengan demikian maka pengertian permukiman adalah ruang atau lingkungan tempat manusia bermukim.
Istilah
permukiman ini ada yang merujuk langsung pada tempat yang dipakai untuk
bertempat tinggal atau merupakan pendukung ataupun pelengkap. Sebagai contoh
sebagai pendukung adalah pasar juga dapat dikatakan sebagai permukiman
sekalipun tidak menjadi tempat tinggal namun mendukung keberadaan kehidupan
manusia dalam menempati suatu lingkungan. Sedangkan lapangan atau taman juga
menjadi unsur permukiman karena memiliki
keterkaitan dalam melengkapi kehidupan manusia. Jadi pengertian permukiman di
sini bermakna sangat luas untuk lebih memfokuskan pemahaman lingkungan binaan
yang sangat umum.
Asal muasal kata “ mukim “
Permukiman
berasal dari kata “ mukim “ – muqim “
yang asalnya terdapat dalam bahasa Arab
yaitu “ berhenti , pemberhentian , berdiri ,
hingga menjadi kata yang berarti tempat atau ruang “. Dalam Al Qur’an kata
kata “ muqim “ memiliki variasi bentuk yang sangat beragam.
- Qaama dalam QS Al Jin : 19 artinya berdiri [1]
- Qum dalam QS al-Muzammil 2 , al-Mudatsir;2 artinya berdirilah
- Qumtum dalam QS al-Maidah 6, artinya berdiri
- Qawama dalam QS al Furqon 67, artinya pertengahan
- Qawwamuna dalam QS an-Nisa 33, artinya pengurus
- Qawwamina dalam QS an-Nisa 134, al Maidah 9 artinya yang dirikan
- Qaaimun dalam QA Ali Im’ran 18, 39, 75 ; Hud : 100 ; ar-Ra’d : 35, Yunus : 12 ; az-Zumar :9 ; Al Jumu’ah : 11 artinya mendirikan, yang tunduk, yang berdiri , yang ada dan yang shalat.
- Muqaam : Al Ahzab 13 dan Al Furqon 66, 76 artinya tempat tinggal
- Maqaam : Ali Imran 97, ash Shaffat 114, al Baqarah 125, Asy Syu’ ara 58, ad Dukhan 26,51 , Al Isra’ 79, Maryam : 73, ar rahman : 46, An Naziat : 40 < an Naml : 39, Al Maidah 107 artinya tempat berdiri, tempat menghadap
Seperti istilah
“ koma “ yang berhenti sementara berasal
dari kata ini. Kemudian kata “ qama “
artinya berdiri sehingga dalam bahasa Arab muncul pengertian “ qiyamul lail “ atau menjadi istilah
untuk shalat malam karena aktivitas shalat dalam bahasa Arab tidak dkatakan
hanya sebagai “ pekerjaan “ tetapi diistilahkan dengan “ mendirikan “.
Ada yang menarik
lainnya adalah “ mukim “ sebagai suatu “ posisi atau fase “ yang diistilahkan
pada kata “ maqam “ artinya martabat
atau tingkatan. Istilah maqam sangat familiar dalam bahasa “ sufisme “ untuk
menyebut dalam bentuk “ maratabat bagi pencari kebenaran tersebut dalam
kedudukannya dalam pencarian tersebut. Dalam Al Qur’an disebutkan “ maqaman
mahmudah “ artinya tempat yang terpuji atau maqaman kariman atau tempat yang
mulia. Sehingga pengertian “ maqam “ memiliki nilai transendental yang sangat
memiliki nilai mendalam. Bila diuraikan maka ada nilai nilai dalam konsep
“ bermukim “ yang sangat transedental yaitu :
- Adanya keseimbangan kebutuhan lahiriah, material, biologis dengan kebutuhan sosial dan spiritual
- Dari “ bermukim “ atau “ tempat bermukim “ menjadi pangkal kebudayaan manusia membangun peradaban
- “Tempat bermukim “ mengandung pengertian “ martabat “ sehingga permukiman pada hakikatnya adalah “ poltik kebudayaan manusia “ menghuni bumi atau alam semesta
- Tingkatan manusia dapat dilihat dari “ permukimannya “ dari aspek sosial dan budaya dan sebaliknya – dimungkinkan dari ruang bermukim akan menghasilkan “ simbol dan tanda “ budaya
Politik Budaya
Bagaimana dalam bahasa “ Melayu “ . Sengaja atau tidak kita sehari hari
sering bercanda menyatakan “ kubur “ sebagai makam, makam dalam bahasa Melayu
merupakan bentuk penghalusan dari istilah kuburan yang umum. Sehingga dalam
bahasa aslinya disebutkan “ berziarah ke kubur bukan ziarah ke makam “ maka
sangat mungkin “ istilah makam adalah Melayunisasi pengertian “ maqam “ karena
dianggap orang yang telah meninggal memiliki martabat atau posisi yang sangat
berdekatan dengan Sang Khalik. Jadi pengertian “ makam “ yang berarti kuburan
merupakan bentuk penghalusan dari konsep “ kuburan “
Bahasa Melayu mengenal kata “ mukim “ untuk
menunjukkan orang menetap atau menempati “ suatu tempat “ dalam jangka tidak
terbatas atau cenderung menetap. Maka permukiman dalam politik bahasa memiliki
konsep yang
sangat mendalam menyangkut eksistensi keberadaan manusia. Eksistensi kebudayaan
manusia ini diwujudkan dalam bentuk “ kebudayaan “ sehingga bermukim pada
hakikatnya adalah bagian primer “ budaya manusia “. Relasi dengan ruang
menunjukkan bahwa antara “ bermukim “ sebagai aktivitas, tata nilai dan gagasan
memerlukan “ ruang “. Kompleksitas atau sebaliknya pragmatisme kebudayaan “
bermukim “ membawa manusia pada suatu persoalan filosofis yang haru dibaca,
dipecahkan dan diproses dalam wujud “ problematika kebudayaan “.
Ruang Bermukim
Dengan demikian pembangunan permukiman merupakan kebutuhan dasar
manusiawi yang sekin sulit dipenuhi
karena pesatnya pertambahan penduduk dan urbanisasi. Kondisi ini diperparah
karena “ model “ yang dipakai adalah tidak mengacu pada model sosial yang tepat
untuk negara dunia ketiga. Padahal pembangunan permukiman mempunyai efek
pembentukan kesadaran dan dinamika kultural [2]
Ruang ternyata dalam pembahasan bahasa tersebut sangat berkaitan dengan konsep
“ bermukim “ secara tekstual. Pemahaman “ koma “ atau pemberhentian adalah
menunjukkan pemaknaan kebutuhan ruang. Bahasa yang berbeda ditunjukkan adanya
kata kata yang barangkali serupa seperti “ rumah, bait, kampung atau tempat
tinggal.
Ruang dalam bahasa Inggris disebut “ space “ dibedakan dengan “ tempat “
yang disebut sebagai place “. Roger
Trancik ( 1986 ) membedakan konsep “ space “ dengan “ place “. Istilah place
menunjukkan adanya terminologi “ ruang “ yang berkaitan erat dengan sosial-budaya
manusia. Dalam pengertian bahasa “ space “ selalu disebut dengan konsep ruang
secara umum maka istilah ruang angkasa dikatakan dalam istilah “ outer space “. Budaya ruang –seperti
halnya dalam pembahasan budaya dididentikakn dengan “ eksistensi manusia “ maka
ada istilah “ out of place “. Bahkan kata palace –kemungkinan besar adalah
metamorfosis dari kata “ place “
Apa kaitan antara ruang dengan budaya,
seperti disebutkan manusia dalam beraktivitas membutuhkan “ ruang “ dan
untuk bersosialisasi membutuhkan “ tempat “. Sehingga konsep ruang memiliki
nilai nilai transenden dalam proses – yang menjadikan manusia berbudaya dan
manusiawi.
Edward T Hall ( 1966 ) seorang antropolog mengungkapkan adanya dimensi “
budaya –perilaku “ manusia dengan ruangnya. Melalui konsep teritori dan privacy
– diketahui adanya batas batas “ ruang “ secara sosial. Ruang memiliki batas
batas secara fisik dan sosial sehingga dalam kehidupan binatang sering dijumpai
adanya teritory yang menunjukkan kekuasaan secara teritorial dalam perburuan
yang tidak boleh dimasuki oleh binatang lain. Binatang tersebut akan mati
matian mempertahankan teritorinya-karena ruang kekuasaannya tersebut hakikatnya
adalah “ ruang eksistensi dirinya “.
- Seluruh peperangan yang ada di dunia pada dasarnya adalah konflik “ keruangan “. Peperangan besar yang dicatat dalam sejarah seperti perang Bharatayudha atau Troya adalah konflik ‘ ruang “ bahkan konflik Khasmir, sengketa perbatasan India Pakistan, Palestina atau perang Irak pada dasarnya adalah konflik “ ruang “.
- Penggusuran permukiman kumuh, kaki lima atau hunian liar adalah persoalan spasial sekaligus sosial, karena permasalahan keduanya ternyata sangat lekat dan tidak terpisahkan.
Tantangan
Permukiman Dalam Dimensi Kemanusiaan
Maka dalam
konteks “ permukiman “ sebagai ruang atau spasial adalah bentuk jati diri,
identitas dan martabat kemanusiaan mengharuskan bahwa perencanaan dan
perancangan permukiman harus berakar pada konsep “ kemanusiaan “. Permukiman
secara normatif memberikan beberapa perlindungan dan hak hak warga negara baik
sebagai individu, masyarakat dan mahluk relijius.
Kasus Kali Code adalah contoh nyata bahwa pendekatan
spasial harus berkaitan dengan pendekatan sosial dengan memperhatikan adanya “
kerangka sistemik “ yang menjadi akar permasalahan. Seperti perbedaan persepsi
sosial mengenai “ tempat bermukim “ antara warga dengan pemerintah, pendekatan
spasial yang hanya melihat konteks “ penegakan hukum tata ruang lepas dari
problematika sosial “ hanya menghasilkan musibah kemanusiaan. Sehingga “
seharusnya “ pembangunan harus memihak pada golongan wong cilik atau lemah atau
kaum dhuafa “ yang tidak memiliki akses apapun untuk menjadi subyek
pembangunan.