Penulis : Sudarmawan juwono
Lingkungan binaan
didesain dan dibentuk memiliki tujuan yaitu memberikan manfaat bagi manusia.
Manfaat ini merupakan dorongan awal manusia prasejarah menempati gua-gua
kemudian membangun rumah-rumah mereka di atas pohon atas dasar memenuhi
fungsinya. Fungsi adalah yang pertama, konsep ini melahirkan hirarki kebutuhan
manusia bahkan bila ditelusuri lebih lanjut sebenarnya keindahan adalah bagian
dari tuntutan fungsi yang tertinggi. Keindahan adalah fungsi yang mengaktualkan
keberadaan manusia sebagai mahluk berpikir-berakal budi (homo sapiens) dan mahluk berkomunikasi simbolik (homo symbolicum). Kedua konsep citra,
dalam pandangan tersebut terkandung nilai nilai yang melampaui “ kegunaannya “
yaitu filosofi. Filosofi berasal dari kata Yunani yang kurang lebih berarti “
kebijaksanaan atau hikmah “ yang berada di balik suatu pemikiran atau produk
karya manusia.
Filosofi Desain
Istilah arsitektur berasal dari bahasa Inggris architecture. Arsitektur
berasal dari akar kata Yunani arche = yang sejati atau yang asli, dan tektoon
= yang stabil. Dari kata ini
kemudian menjadi istilah ilmu bangunan sipil. Ada pula yang menyebutkan bahwa Archi = kepala, dan techton = tukang, maka architecture
adalah karya kepala tukang. Dari istilah ini maka arsitektur dapat pula
diartikan sebagai suatu pengungkapan bentuk bangunan. Namun apakah hanya
berhenti sampai di sini saja ? .
O’Gorman (1997) dalam ABC of Architecture,
menjelaskan bahwa arsitektur lebih dari sekedar suatu pelindung namun wujud
seni yang bisa difungsikan untuk aktivitas. Le Corbusier mengatakan bahwa ”architecture is the masterly, correct
and magnificient play of masses seen in light. Architecture with a capital A
was an emotional and aesthetic experience”.
Definisi arsitektur di atas menunjukkan bahwa ada banyak
pendapat yang berbeda mengenai pengertian arsitektur namun yang biasa diterima
adalah “ human settlement “ yaitu lingkungan binaan yang ditempati manusia.
Desain selalu bertitik tolak dari filosofi atau landasan ideologi yang
mendasari sebuah perancangan dilakukan. Dasar tersebut bertitik tolak dari “
Apa (what), siapa (Who), untuk siapa (Which), bagaimana mencapainya (How), kapan (When) dan dimana (Where). Sekalipun di
Barat era modern sudah berlalu kini memasuki era pos modern namun tidak
sedemikian halnya di Indonesia. Perbincangan “ Form follows function “ atau function
follows form atau “ form follows
culture “ masih menggema sampai kini, meskipun telah lahir konsep konsep
desain yang baru seperti “ modernisme hingga pos modernisme .kemudian
dekonstruksi hingga ekletikisme “.Ada kecurigaan yang sangat beralasan bahwa
pos modern yang ada merupakan “ kelanjutan era modern “ yang dibungkus dengan
fisik pos modern namun jiwanya masih modern. Dengan demikian sangat wajar apakah
desain mengikuti bentuk atau estetika terus saja diperdebatkan.
Komponen
|
Merancang Arsitektur
|
Pengetahuan Arsitektur
|
Wujud
|
Bersifat menjawab
bagaimana ?
Berupa konsep untuk
merancang
|
Menjawab ” apa ” ?
Berupa seperangkat
pengetahuan atau konsep dan teori
|
Metode Ilmiah
|
Berorientasi pada
produk tidak mempermasalahkan metode
|
Berorientasi pada
proses dibandingkan pada produk serta metode.
|
Intuisi
|
Mengandalkan intuisi
|
Intuisi diperlukan
namun dalam batas tertentu.
|
Desain
|
Bertujuan
menyelesaikan masalah desain arsitektur
|
Membangun pengetahuan ilmiah untuk mendukung
proses desain
|
Diolah dari Sudradjat (2004).
Ada ilustrasi menarik, konon arsitek gedung Dharmala, mendesain gedung
tersebut hanya di atas sehelai serbet saat berada di penerbangan. Entah benar
atau tidak namun hal ini mendorong kita untuk berpikir apa yang harus dilakukan
terlebih dahulu, merencana bentuk dulu atau merencana fungsi atau kedua duanya.
Mungkin pilihan kedua duanya adalah pilihan yang paling pragmatis, namun
mungkinkah hal tersebut dilakukan. Dalam hal ini sering kita bertanya pada
mahasiswa, anda merancang denah dulu atau bentuknya. Tentu saja jawabannya
bervariasi. Namun perlu diingat arsitek adalah seniman yang berpijak pada
landasan berpikir ilmiah serta kaidah kaidah yang secara teknis dapat
dipertanggungjawabkan.
Ada beberapa kaidah dasar yang harus dipahami dalam
merancang sebagai suatu tindakan “ kreatif “ tetapi bertanggung jawab. Ada baiknya kita para
arsitek membebaskan pemikiran kita dari “ apa yang ada “ namun mengarah pada “
apa yang seharusnya “. Otak kiri selalu mendorong keteraturan atau ketertiban
sedangkan otak kanan selalu mendorong pada “ kreativitas, seni, hal hal yang
diluar kebiasaan. Tulisan tulisan De Bono terutama menyangkut cara berpikir
lateral sangat baik untuk menjadi ide dalam merancang. Namun isu-isu sosial
juga tidak boleh dilupakan bahwa kita hidup di negeri yang menghadapi
kesenjangan sosial, kemiskinan, dan kerawanan sosial. Bentuk arsitektur tidak
boleh tidak harus berkaitan erta dengan makna bagi lingkungannya. Bertitik
tolak dari hal tersebut maka bahasan kaidah arsitektur dapat dibagi menjadi 2
(dua) yaitu kaidah bentuk dan makna.
Kaidah Bentuk dan Makna
Arsitektur
Berabad abad lalu,
Vitruvius memperkenalkan pada kita dengan apa yang disebut dogma Vitruvius
yaitu : Kekuatan, keindahan, dan kegunaan. Pandangan ini menjadi landasan bagi
para arsitek untuk berkarya serta mengeksplorasi segala macam potensi yang ada.
Kekuatan tanpa keindahan, ibarat suatu bangunan yang kokoh tahan segala macam
kerusakan namun menjemukan ; kemudian sebaliknya keindahan tanpa kekuatan hanya
menghasilkan bangunan rapuh ibarat wanita cantik namun sakit sakitan. Kegunaan
merupakan salah satu kepentingan bahwa segalanya berawal dari “ fungsi “ tanpa
kegunaan sia sialah karya tersebut. Meskipun kaidah ini mementingkan materi dan
fungsi namun ada beberapa hal yang bisa diterima dalam pendekatan bentuk dan
makna.
- Kaidah Bentuk
Dalam kaidah ini karya
arsitektur selalu mengacu pada hasil yang dapat dilihat bentuknya, dengan
sendirinya karya arsitektur selalu memiliki “ bentuk “. Bentuk ini adalah
bentuk dasar, dari bentuk ini menghasilkan kegunaan tanpa bentuk yang pasti
keindahan tidak akan terpenuhi. Bentuk dua dimensi yang memiliki 2 (unsur dimensi)
dan tiga dimensi memiliki kelengkapan sebagai suatu ruang. Bertitik tolak dari
konsep tersebut penulis setuju menerima 3 (tiga) kategori bentuk arsitektur
yaitu bangun, sosok dan wujud arsitektur yang diajukan oleh Josef Prijotomo
(1994).
Pada kuliah kuliah dasar para calon arsitek diajarkan kaidah kaidah
bentuk agar melatih kepekaan bila massa massa yang ada bertemu, bersimpangan,
saling menutup, berdekatan atau bersinggungan. Bagaimana bila 2 (dua) atau
lebih massa berada dalam suatu bidang bagaimana mengaturnya. Prinsip prinsip
harmoni (keselarasan) yang mengarahkan pada rancangan yang seimbang atau desain
simetris akan menekankan pada pengaturan massa yang menghindari perbedaan
menyolok.Pengaturan warna atau tekstur sangat diperhitungkan, dalam desain
desain klasik khususnya karya Renaissance sangat menekankan keteraturan.
Meskpupun begitu bila berlebihan karya tersebut menjadi monoton.
Prinsip prinsip kontras (membedakan) juga merupakan konsep desain yang
berusaha untuk menonjolkan diri. Karya ini harus “ aktual, berbeda, lain “ ada
pesan aku berbeda dengan kalian. Prinsip ini akan mengakibatkan karya menjadi
lebih terpusat untuk dinikmati. Tanpa disadari para arsitek sudah menanamkan
jiwa kontras ini dalam merancang, karya dianggap sempurna jika mampu menonjol
dengan demikian karakternya terlihat jelas.
Sebagai “ pengatur “ atau manajer bentuk, para
arsitek harus tahu kapan harmoni diketengahkan atau sebaliknya kontras
dinomorduakan.
Hal ini yang harus dipikirkan secara matang dengan mempertimbangkan
berbagai aspek merancang terutama “ konteks lingkungan, konteks pemakai, atau
konteks budaya “.
Sebagai contoh di Bali pada lingkungan
tertentu dulu berlaku bahwa desain harus
tidak lebih dari tinggi pohon kelapa, akibatnya “ tujuan menonjol “ akan hilang
? Tentu saja tidak karena masih banyak cara atau kreasi untuk menonjolkan karya
tanpa harus melanggar nilai dan norma yang ada.
Peraturan mengenai KLB ( Koefisien Luas Bangunan ) atau KDB ( Koefisien
Dasar Bangunan ) misalnya bukan jadi batasan yang memasung kreativitas
sebaliknya menjadi pendorong untuk dipecahkan sehingga menjadi keunggulan
desain.
Dalam desain arsitektur mengacu pada beberapa logika bahwa “ desain
pada dasarnya mengarah kesatuan ( integrasi ) bukan desintegrasi.
Pembuatan tema desain sangat penting, namun jangan dilupakan
kontekstualitasnya terutama dari faktor desain yang lain sehingga sesuai.
Tema yang tidak sesuai dengan fungsi sangat terlihat dari bentuk desain
yang ada maka menduplikasi atau meniru secara mentah mentah meskpun tidak salah
tapi akan terlihat menggelikan. Sehingga pada dasarnya tidak ada desain yang
merupakan duplikasi karena semua acuan akan berbeda bila ditempatkan pada “
lokasi “ yang berbeda atau faktor faktor desain yang berbeda. Hal ini menurut
penulis menjadi keunggulan cara berpikir para arsitek dalam memecahkan masalah
menjadi suatu proses yang sangat kaya dan mengagumkan bagi disiplin ilmu lain
non arsitektur. Berikut di bawah ini diuraikan 4 (empat) kaidah yaitu kaidah
fungsi, teknis, estetis dan sosial budaya.
- Kaidah Kegunaan (utility)
Kegunaan sperti diungkapkan
di atas merupakan masalah yang sangat krusial, kegagalan bangunan atau mala
praktek arsitektur merupakan kegagalan total arsiteknya dalam desain tersebut.
Secara matematis guna merupakan fungsi persamaan. Kegunaan adalah logika dasar
para arsitek yang mutlak dipenuhi sebelum segala sesuatu dibicarakan seperti
bentuk, keindahan bahkan konstruksinya.
Kegunaan sendiri tidak sederhana dalam merancang, kesulitan para
mahasiswa arsitek adalah melakukan penggabungan fungsi seperti fungsi untuk
rekreasi, perkantoran dan hunian dalam desain super blok. Dalam beberapa hal
kegunaan bisa diukur secara matematis namun dalam beberapa hal lebih jelas bila
dijelaskan dalam bentuk “ graphic thinking “. Namun perlu disadari benar
kalau dalam programming tidak sekedar berbicara kegunaan namun kaidah kaidah
yang lain. Tanpa disadari pengaturan “ kegunaan “ sering bertumpu pada asumsi
atau dasar dasar yang berbeda. Sebagai contoh : antropometri orang Indonesia
akan berbeda dengan orang Eropa, meskipun ada generalisasi namun perlu
dipertajam dalam prakteknya. Penggunaan standar standar seperti Neufert Data
Architect atau Time Saver Standard harus diingat tidak langsung bisa
diterapkan. Misalnya desain loket bank ternyata sudah berkembang pesat,
beberapa bank terkemuka mengembangkan
standar tersendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan pemakai.
Ada baiknya para mahasiswa juga membaca literature pada
manajemen Teknik Industri khususnya “ antropometri, ergonomi, lay out sebagai
pengkayaan karena menyangkut perancangan sistem industri.
Faktor faktor yang
perlu menjadi catatan dalam mengatur atau mempertimbangkan kegunaan adalah
kegunaan utama ( primer ) dengan kegunaan sekunder atau tersier. Ketidakmampuan
untuk membedakan akan menghasilkan desain yang gagal memenuhi tujuan utamanya.
- Kaidah Keindahan
Dalam desain arsitektur, keindahan adalah suatu pandangan atau gagasan
yang memiliki logika atau dasar dasar filosofis. Pelajaran mengenai keindahan
merupakan cabang ilmu filsafat yang dikenal dengan Estetika. Estetika membahas
dasar dasar keindahan secara logis berdasarkan suatu tata cara berpikir yang
teratur dan mendalam. Sehingga keindahan dalam karya arsitektur pada dasarnya
dapat dipahami meskipun tidak semua orang dapat memahaminya.
Berbeda dengan seniman yang mendasarkan estetika pada suatu gagasan
yang mungkin tidak seluruhnya dapat dijelaskan ( pendapat inipun tidak
sepenuhnya benar karena ada dalam seni dikenal adanya apresiasi ) karena
bersifat subyektif. Karya arsitektur bersifat subyektif meskpipun demikian segi
logisnya dapat menjadi bagian penalaran. Konsep asosiasi misalnya merupakan
konsep menghubungkan sesuatu yang berbeda dengan melihat prinsip prinsip dasar
yang sama.
Dekonstruksi seperti yang menjadi paham estetika arsitektur tidak
sepenuhnya berpijak pada realitas yang subyektif sebaliknya dapat dikatakan
obyektif dari segi tema yang ada. Konsep konsep estetika seringkali mengandung
perlawanan dari yang sudah ada ( bandingkan dengan kaidah bentuk ) karena kalau
mengikuti desain yang ada hanya menciptakan desain yang monoton.
Keindahan ini menyangkut beberapa faktor yang harus dipenuhi seperti
rasionalitas dan faktor sosial budaya.
Rasionalitas diperlukan karena keindahan menjadi tidak berarti apabila
tidak ada dasar dasar logika yang mendasari.
Faktor sosial budaya sangat penting, meskipun secara rasional benar
tetapi desain tersebut berpijak pada konteks lingkungan manusia yang memiliki
perbedaan persepsi karena perbedaan lingkungan dan kemampuan.
- Kaidah teknis
Kaidah teknis didasarkan pemikiran bahwa
bangunan merupakan sesuatu yang bersifat teknis dan harus memenuhi persyaratan
teknis. Arsitektur memerlukan pengetahuan fisik teknis agar karya yang
dilahirkan dapat memenuhi persyaratan keamanan dan fungsi. Kaidah teknis tidak
hanya meliputi masalah konstruksi saja melainkan ergonomis. Pemikiran ini
sangat mempengaruhi para perancang dalam mendesain. Material bangunan yang baru
mendorong kreativitas para perancang mengembangkan konsep konsep desain
mutakhir. Lahirnya arsitektur modern sebagai contoh adalah disebabkan adanya
perkembangan material dan penemuan
strukur konstruksi yang baru.
Sebaliknya adakalanya desain justru dirancang
dari aspek teknis, sebagai contoh desain arsitektur seperti kubah mesjid
didasarkan suatu desain struktur namun kemudian menjadi simbol budaya tertentu.
Pada masa sekarang adanya konsep berkelanjutan menjadi dasar bagaimana suatu
desain “ kaidah teknis “ harus dapat dipertanggungjawabkan.
- Kaidah logis
Logika adalah salah satu proses pengambilan
keputusan yang obyektif melalui suatu proses yang dapat dipertanggungjawabkan
ilmiahnya. Proses pengambilan keputusan sering kali tidak hanya bersifat teknis
saja tetapi mengandung logika yang bisa diterima secara umum. Bahkan dalam
kesulitan data atau informasi maka dimungkinkan mengambil pendekatan “ logika “
Para arsitek mengandalkan
penalaran untuk mempertahankan prinsip prinsip mereka sehingga tidak dapat
dibantah. Presentasi yang baik barangkali sangat membantu untuk memanipulasi
atau menambah bobot pada penguasaan desain tetapi tidak banyak menolong setelah
desain tersebut diwujudkan. Artinya logika yang dimaksud adalah suatu prinsip
rasional yang dapat diterima oleh siapa saja.
Metode Delphi misalnya sering dipakai untuk
mengambil keputusan berdasar pertimbangan para pakar atau orang yang memiliki
pengetahuan cukup. Penelitian kualitatif dengan metode wawancara yang mendalam
serta analisis pengamatan oleh perancang akan memberikan temuan temuan yang
konstruktif.
- Kaidah ekonomi sosial budaya
Adakalanya pertimbangan bentuk maupun fungsi
harus berhadapan dengan kaidah ekonomi sosial dan budaya, Rapoport mengamati
dengan baik gejala tersebut. Bagaimana para pemukim dari daratan Cina
mempertahankan budaya rumah mereka dengan segala ornamen serta bentuk bangunan
tidak menyesuaikan dengan lingkungan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa faktor
budaya sangat kuat mempengaruhi bagaimana perancangan dilakukan. Faktor faktor
sosial budaya sangat menentukan bahkan terkadang mengabaikan “ kondisi fisik
lingkungan “.
Kaidah tersebut bukannya merupakan suatu
bentuk yang tidak disengaja, adakalanya perancang atau masyarakat menghendaki
adanya “ tekanan tekanan sosial budaya “ sehingga mampu mempertahankan
masyarakat .dari perubahan lingkungan sosial budaya. Pelestarian bangunan atau
kawasan bersejarah memperhatikan kaidah ini. Ekspresi sosial budaya masyarakat
ditampilkan dari bangunan bangunan yang ada.
Faktor ekonomi juga sangat menentukan, dalam
analisis untung rugi ada pertimbangan untuk menetapkan nilai bangunan
berdasarkan fungsi ekonomis yang bisa diraih. Kondisi ini sering berbenturan
dengan idealisme para perancang maupun masyarakat pemakainya.
Kaidah Makna
Arsitektur sebagai dimensi teknis maupun
pengetahuan memiliki kaitan yang sangat erat dengan budaya manusia. Keberadaan
bangunan-bangunan rumah tradisional maupun vernakular memperlihatkan bahwa
sistem produksi artifak tersebut dipengaruhi tidak hanya dari ” pengetahuan
teknis dan lingkungan fisik geografis ” namun dari konteks budayanya. Kita
tidak bisa memahami makna keberadaan candi Borobudur tanpa memahami sistem
budaya yang berkembang saat itu, pandangan keagamaan dan serta tujuan
pembangunan atau politik masyarakatnya. Pada bangunan-bangunan modern kita
menjumpai bahwa ” budaya sangat kuat mempengaruhi ” manusia dalam membentuk
lingkungan binaannya.
- Makna Kekuasaan
Arsitektur bukan politik kekuasaan namun melalui
arsitektur keberadaan ” politik kekuasaan ” dapat direalisasikan. Keberadaan
karya arsitektur adalah bentuk kekuatan tanpa hal tersebut mustahil karya
tersebut dapat bertahan. Antitesis dari pendekatan kekuatan tersebut suatu
karya dalam era transformasi seperti sekarang ini harus memiliki spirit yang memperkuat
rasa kebersamaan dalam keragaman. Kebersamaan dan keberdayaan ini merupakan
prasyarat bagi terwujudnya peran serta atau partisipasi dalam kehidupan
demokratis. Peran karya arsitektur dapat mengartikulasi keberpihakan pada
komunitas yang lemah dalam bingkai keadilan dan pemberdayaan. Pendekatan yang
inklusif serta saling menghargai keragaman akan lebih menjamin terwujudnya
peran serta dan komitmen komunitas yang lebih luas serta mendalam. Sebaliknya
pendekatan yang eksklusif serta akan meningkatkan kesenjangan dan
ketidakadilan.
- Makna Pengetahuan : Proses Merancang dan Mengetahui
Perancangan
dalam arsitektur dilakukan mengacu pada asumsi-asumsi pengetahuan yang telah
teruji. Penggunaan pengetahuan yang bersifat spekulasi tidak dapat dibenarkan
karena akan beriko tinggi baik dari segi biaya maupun keselamatan pemakainya.
Penelitian yang dilakukan oleh Jane Jacobs (1969) merupakan sumbangan bagi
pengetahuan arsitektur karena memberikan pandangan mengenai adanya ” dampak
kota sebagai ruang manusiawi ’ akibat perancangan yang bersifat rasionalis dan
matematis. Temuan Jacobs ini mendorong penelitian-penelitian di bidang
perkotaan yang lebih luas.